Hodri Ariev*
Sabda Baginda Nabi Muhammad saw. ini sangat masyhur, hingga terkadang seperti biasa saja dan tidak punya pesan mendalam. Pada sisi yang lain, pesan ini bisa disalahpahami hingga potensial menyebabkan panteisme, menyamakan diri dengan Tuhan. Sabda ini bisa menjadi pedoman untuk mengenal Tuhan, sekaligus bisa menjadi kritik diri dalam menjalani hidup.
Sebagai kritik, sabda ini bisa terus menggedor kesadaran kita tentang ilmu yang selama ini kita peroleh dan amal yang selama ini kita lakukan. Apakah semua telah mendekatkan kita pada kebenaran, kebaikan, dan sesuai dengan tuntunan syari‘ah? Jawaban yang muncul bisa sangat beragam dan dengan rendah hati akan sampai pada pengakuan betapa kita masih jauh panggang dari api. Bahkan ketekunan beribadah pun terkadang belum membuat kita semakin baik. Namun kita patut bersyukur kalau tidak semakin buruk, karena tidak menjadi semakin baik bisa terjadi karena kita berjalan di tempat, tidak semakin maju secara spiritual. Menjadi semakin buruk, jelas merupakan kerugian.
Menjadi semakin dekat kepada Tuhan memang tidak mudah, karena kita selalu berhadapan dengan berbagai hambatan dan tantangan dalam setiap tarikan nafas. Ada godaan-godaan merasa lebih baik dari yang lain, benih-benih takabbur dalam beribadah. Apalagi takabbur dalam selain ibadah. Ada godaan-godaan memuaskan syahwat dalam berbagai tingkatannya, mulai dari induk syahwat seperti nafsu makan, nafsu pada kekayaan, nafsu pada kekuasaan, hingga nafsu seksual. Agama telah menyediakan mekanisme yang baik dan benar untuk kepuasan syahwat ini, tapi nafsu kita sering merasa tak terpuaskan sehingga terjadilah apa yang sering terjadi, sering melawan batasan-batasan Tuhan tanpa merasa takut sama sekali, seakan-akan kita bisa mengendalikan hidup dan akan hidup selamanya. Sungguh tidak demikian: setiap tarikan nafas tidak bisa kita kendalikan, hidup setiap makhluk tidak bisa dikendalikan kecuali oleh Sang Pencipta.
Jika belum sempat memahami makna hakiki dan mendalam sabda Baginda Nabi (man ‘arafa nafsahu ‘arafa Rabbahu), setidaknya kita harus berusaha menjalani hidup dengan baik dan benar, dengan baik dan benar. Baik berarti bersesuaian dengan kepantasan lingkungan, tidak membuat para tetangga terganggu; sementara benar bersesuaian dengan ajaran agama. Jika karena berbagai alasan tidak bisa berbuat dengan benar (sesuai dengan syari‘ah), setidaknya harus berbuat dengan baik karena penting untuk saling menghargai, saling menghormati. Jika berbuat baik saja tidak bisa dilakukan, apa yang tersisa dalam hidup bertetangga kita?
Sebagai pedoman, kita penting untuk memahami sabda Baginda Nabi, walau pun sebatas pengantar/pendahuluan. Sabda “Siapa pun yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya,” tidak bisa kita pahami secara fisik, karena tidak ada apa pun yang serupa dengan-Nya. Dengan demikian setiap pemahaman fisik tertolak dari sudut pandang agama. Ada pandangan yang mengemukakan bahwa dalam diri setiap makhluk, tidak hanya manusia, terpantul kesempurnaan Sang Pencipta (Al-Khaliq). Bagaimana konstruksi biologis dibentuk, bagaimana kinerja organ-organ tubuh, bahkan planetarium, bekerja dengan begitu sempurna; semua ini menyiratkan dengan tegas bahwa bukanlah sebuah kebetulan, tapi kesempurnaan Sang Pengatur (Al-Mudabbir).
Hal sederhana, misalnya hidung kita. Dalam cuaca yang dingin, hidung kita bekerja keras menghangatkan udara yang akan masuk ke paru-paru agar suhunya sesuai. Jika tidak, maka paru-paru kita akan kesakitan karena udara yang sangat dingin. Hidung dilengkapi dengan mekanisme mengurangi udara yang masuk, seperti kemudian berlendir jika menghirup udara dingin dalam rentang waktu tertentu. Mata kita memiliki diafragma yang bekerja secara simultan agar bisa mengatur intensitas cahaya yang masuk. Ketika lampu padam, awalnya kita tidak bisa melihat apa pun, tapi pelan-pelan mulai melihat walaupun remang-remang. Begitu lampu menyala, kita akan merasa silau, lalu perlahan bisa menyesuaikan diri, karena iris atau diafragma mata mengatur intensitas cahaya yang masuk ke retina. Ginjal, ada dua buah kira-kira seukur ujung kelingking, menyaring darah kita —konon— sebanyak 25 liter setiap hari, memisahkan cairan-cairan yang tidak dibutuhkan tubuh dan mengeluarkannya, sedangkan yang masih dibutuhkan tetap disertakan dalam darah. Bayangkan, penderita rusak ginjal harus mencuci darah seminggu sekali atau lebih dengan alat yang cukup besar dan dengan biaya yang tidak murah.
Ini adalah beberapa kesempurnaan biologis kita, yang mencerminkan kesempurnaan Sang Pencipta (Al-Khaliq) dalam menciptakan manusia. Begitu juga makhluk-makhluk lainnya, sangat sempurna. Hingga pada binatang-binatang yang terkadang kita merasa jijik atau takut melihatnya, ada kesempurnaan dalam penciptaannya. Jijik karena tidak sesuai dengan harapan dan keinginan kita; takut karena kita merasa terancam.
Dengan mengenali kesempurnaan biologis, keteraturan fisiologis kita, masihkan kita belum merasakan kesempurnaan Sang Pencipta (Al-Khaliq) dan Sang Pengatur (Al-Mudabbir)? Ini adalah pengantar untuk merasakan kehadiran Sang Pencipta dalam diri kita, dalam hidup kita. Pembicaraan tentang kesempurnaan yang lain, insyaallah akan semakin membuat kita menyadari kehadiran Ilahi dalam setiap tarikan nafas kita. Maka, masihkan kita ingkar pada aturan-aturan-Nya, masihkan kita akan menggunakan semua yang Dia titipkan semau syahwat kita, dan masihkah akan melakukan apa pun untuk memuaskan syahwat kita? (Insyaallah akan ada tulisan berikutnya).
*Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum