Artikel
Honainah*
Abstrak
Penelitian
ini membahas tentang sewa Rahim, dari hukum sewa Rahim, status anak dari hasil
sewa Rahim hinggga kewarisan kepada anak dari hasil sewa Rahim. Penelitian ini termasuk tipe penelitian hukum normatif
(legal reseacrh) atau juga dikenal dengan penelitian doktrinal Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan perundang-undangan
dan pendekatan konseptual,Analisis
sumber bahan hukum dilakukan secara deskriptif dengan tidak menguji teori, tetapi
menganalisis konsep-konsep hukum yang mencakup pengertian hukum, norma-norma
hukum dan sistem hukum. Hasli penelitian menyimpulkan Status Nasab anak yang
dilahirkan dengan menyewa Rahim yaitu Ulama berbeda pendapat, sebagian
menetapkan ibu pemilik ovum yang menjadi ibu sebenarnya (nasab) dan ibu pemilik
rahim sebagai ibu susuan, sebagian ulama lainnya menetapkan ibu pemilik rahim
sebagai ibu nasabnya dan ibu pemilik rahim sebagai ibu susuan. Kewarisan
anak hasil bayi tabung melalui sewa rahim dalam hukum Islam masih terdapat
perbedaan diantaranya ada sebagian pakar hukum Islam yang mengatakan bahwa anak
hasil bayi tabung melalui sewa rahim tersebut tidak sah karena pada dasarnya
bayi tabung tersebut hukumnya haram dan sebagai akibat hukumnya nasab anak
tersebut hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya, setelah diketahui
kenasabannya maka dengan sendirinya secara hukum kewarisannya pun ikut kepada
ibu yang melahirkannya, maka antara anak yang dilahirkan melalui proses bayi
tabung melalui sewa rahim dengan ibu yang melahirkan dapat saling mewarisi
antara keduanya, karena wanita tersebut yang mengandung dan melahirkannya.
Kata
Kunci: Nasab, Kewarisan, Sewa Rahim, Hukum Islam
Latar
Belakang
Dalam pernikahan Salah satunya memiliki tujuan
terhindar dari perbuatan zina juga untuk melanjutkan keturunan. Memiliki anak
adalah dambaan setiap pasangan suami-istri, sebagian besar orang berpikir hidup
tanpa keturunan bagaikan pohon yang tak berbuah walaupun hidup beribu tahun
tetapi tanpa adanya keturunan maka hidup akan sia-sia. Anak adalah anugerah
terindah sekaligus amanah yang Allah berikan kepada setiap orang tua, seorang
anak dapat membuat senang hati kedua orang tuanya, tawa dan tangisnya menjadi
penyemangat tersendiri. Kehadiran anak dalam rumah tangga selalu dinantikan dan
diharapkan oleh semua keluarga. Namun demikian tidak semua orang memilki nasib
baik sebagaimana yang diimpikan, ada Sebagian dari pasangan suami istri
walaupun sudah bertahun-tahun membina rumah tangga dan telah berupaya
semaksimal mungkin agar memiliki anak namun gagal entah itu karena factor dari
suami atau karena factor istri.
Berbagai upaya pun akan ditempuh untuk mendapatkan
anak. Mulai dari konsultasi pada pihak yang dianggap ahli untuk memecahkan
masalahnya hingga mencari alternatif apapun seperti adopsi, berobat, terapi
kesehatan reproduksi dan menggunakan teknologi kedokteran yang bisa
mendatangkan anak sebagai buah hati, jika sekian usaha telah dilalui namun
tidak membuahkan hasil, tak jarang kehidupan rumah tangga akan runtuh yang pada
akhirnya menyebabkan poligami atau bisa berujung pada perceraian.
Di teknologi yang moedern ini bagi pasangan suami
istri yang sulit bahkan dianggap tidak bisa memiliki keturunan sudah tidak perlu
dihwatirkan lagi karena seiring berkembangnya ilmu pengetahun terutama semua
masalah yang dianggap sulit termasuk memiliki anak akan teratasi. Misalnya
dengan menggunakan perkembangan keilmuan dan penemuan keilmudan dalam bidang
kedokteran yang dalam hal ini memiliki
dampak positif bagi seluruh umat manusia terutama bagi pasangan suami istri.
Salah satu hasil penemuan dibidang ini adalah dengan telah ditemukannya
cara-cara baru dalam mereproduksi manusia, yang dalam istilah kedokteran
disebut dengan fertilisasi invitro atau lebih populer dengan istilah bayi
tabung.[1]
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa penciptaan janin terjadi dimulai dari
bertemunya sperma dengan sel telur yang merupakan proses alamiah yang biasa
terjadi dalam reproduksi manusia. Akan tetapi apabila terdapat gangguan pada
proses reproduksi, maka tidak dapat terjadi pembuahan secara alamiah, sehingga
memunculkan proses bayi tabung.[2]
Untuk masalah inseminasi buatan melalui metode bayi
tabung yang selama ini dinilai sebagai penemuan sains yang membawa kemaslahatan
besar bagi manusia, terutama bagi suami istri yang tidak dapat memperoleh anak
dengan pembuahan secara alami telah ditemukan metode baru dengan pembuahan di
luar rahim atau yang dikenal dengan sebutan In VitroFertilization (IVF). In
Vitro Fertilization (IVF) adalah penyatuan taua pembuahan benih laki-laki
terhadap benih wanita pada suatu cawan petri (dilaboratorium), yang mana setelah
terjadinya penyatuan tersebut (zygote), akan diimplantasikan atau ditanam
kembali di rahim wanita yang mempunyai benih tersebut. [3]
kemudian Pada kondisi kedua, yaitu cacat atau gangguan yang melebar pada rahim,
prosesnya dengan mengeluarkan sel telur perempuan yang kemudian dikawinkan
dengan sperma laki-laki pada sebuah tabung diluar tubuh, kemudian menjadi
zigot, lalu janin yang berkembang tersebut dipindahkan dan di titipkan pada
rahim perempuan lain (rahim pinjaman).
Sejalan dengan adanya bayi tabung ini, semakin psatnya
perkembanngan ilmu, maka muncullah surrogate mother atau ibu pengganti. Yang
mana surrogate mother atau ibu pengganti merupakan teknik bayi tabung
(fertilisasiinvitro), yaitu dimana sperma dan ovum pasangan suami istri yang
diproses dalam tabung, lalu dimasukkan kedalam rahim orang lain, bukan kedalam
rahim istri.[4]
Proses dan cara yang dilalui antara keduanya mempunyai persamaan, yakni
pertemuan antara sperma dan ovum berproses dalam tabung gelas, tetapi
perbedaannya setelah terjadi pembuahan sel yang telah bercampur itu dimasukkan
kedalam rahim wanita lain, sehingga dalam proses tersebut terlibat unsur ketiga
selaindari suami istri yang sah. Dalam proses ini pasti sudah diperjanjikan
sebelumnya, makan dengan demikian sewa Rahim yaitu seorang perempuan mengadakan
perjanjian dengan pasangan suami-istri yang hendak memiliki anak dengan
menggunakan rahim perempuan lain. Menurut Salim H.S, yang dimaksud dengan
kontrak surogasi (ibu pengganti) adalah: kontrak atau perjanjian yang dibuat
antara orang tua pemesan dengan ibu surogat, dimana ibu surogat akan
mengandung, melahirkan dan menyerahkan anak tersebut kepada orang tua pemesan
berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya. [5]
Hal ini akan pasti terjadi, bukan hanya karena alasan
seroang istri yang tidak bisa mengandung, namun ini akan menjadi trend dakam
berbagai macam-macam keadaan. Bahkan hal ini telah terjadi pergeseran makna dan
substansi, dari substansi awal sebagai alternatif kelainan medis (karena cacat
bawaan atau karena penyakit) yang ada ke arah sosial dan eksploitasi nilai
sebuah rahim, yang mana pada pihak penyewa bukan lagi karena alasan medis,
tetapi sudah beralih ke alasan kosmetika dan estetika (yang tidak mau tubuhnya
akan cacat dan jelek akibat melahirkan serta malas untuk mengandung dan
melahirkan), sementara bagi pihak yang disewa akan menjadikannya sebagai suatu
ladang bisnis baru dengan menyewakan rahimnya sebagai alat mencari nafkah
(terutama pada masyarakat yang status ekonominya rendah), bahkan di beberapa
negara sampai-sampai difasilitasi oleh pihak pemerintah setempat dengan
membuatkan sebuah pusat untuk model sewa rahim, termasuk juga dengan pengurusan
visa khusus dan visa medis, seperti yang dikatakan oleh seorang sosiologi dari
Australia Catherine Waldby pada konferensi : Asia-pasificSciance, Technology
and Society Network Conference pada bulan Desenber 2009 Brisbane-Australia.[6]
Praktek sewa rahim (surrogate mother) sudah dilakukan
sejak lama di negaranegara Eropa, Amerika, bahkan India. India sendiri sampai
dengan sekarang menjadi destinasi bagi para wanita untuk melakukan sewa rahim
yang telah dikomersilkan, menjadikan India negara pertama yang mengkomersilkan
praktik sewa rahim baik secara nasional maupun internasional. Untuk Indonesia
sendiri, praktik sewa rahim masih banyak dilakukan secara diam-diam[7]
Adanya terobosan baru seperti ini yang dianggap
sebagai solusi bagi sebagian kalangan yang ingin mendambakan seorang anak bukan
berarti akan menyelesaikan masalah. Justru akan memunculkan dan mengundang
masalah baru bagi maslahat umat terutama bagi status anak yang dilahirkan. Karena jika ditinjau dari hukum Islam, proses
penitipan janin melalui rahim wanita lain tentu akan menyebabkan permasalahan
hukum, antara lain mengenai pandangan hukum Islam terhadap perbuatan penitipan
janin dan status hukum anak yang dilahirkan dari penitipan janin tersebut,
seperti mengacaukan status nasabanak yang dilahirkan dan penetapan siapa
yangmenjadi ibu yang sesungguhnya. Apakah perempuan yang mengandung hingga
melahirkan atau perempuan yang menitipkan janin dalam hal ini adalah perempuan
pemilik ovum. Selain itu juga akan menimbulkan kerancuan hubungan keperdataan
antara anak dengan ibu yang mengandung dengan ibu pemilik rahim.
Masalah sewa rahim menurut pandangan Islam termasuk
masalah kontemporer ijtihadiyah. Karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fikih klasik sekalipun. Oleh
karena itu, masalah ini perlu dikaji dengan memakai metode ijtihad yang dipakai
oleh ahli ijtihad (mujtahidin) agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan
prinsip dan jiwa Al-Quran dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum
Islam.
Berangkat dari latar belakang masalah diatas, perlu
untuk diteliti dan mengkaji lebih dalam tentang bagaimanakah status nasab dan
kewarisan anak yang dilahirkan melalui sewa Rahim.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalahb diatas, maka penulis merumuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana status nasab anak yang
dilahirkan dari sewa Rahim?
2.
Bagaimana status kewarisan anak dari hasil
sewa Rahim?
Metode
Penelitian
Penelitian ini termasuk tipe penelitian
hukum normatif (legal reseacrh) atau
juga dikenal dengan penelitian doktrinal. Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian yang
bertujuan untuk memberikan eksposisi yang bersifat sistematis mengenai aturan
hukum yang mengatur bidang hukum tertentu, menganalisis hubungan antara aturan
hukum yang satu dengan yang lain, menjelaskan bagian-bagian yang sulit untuk
dipahami dari suatu aturan hukum, bahkan mungkin juga mencakup prediksi
perkembangan suatu aturan tertentu pada masa mendatangHasil Penelitian
dan Pembahasan.[8]
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan perundang-undangan
dan pendekatan konseptual. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.[9]
Prosedur pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka, yaitu upaya untuk mengkaji, mempelajari dan memahami bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan objek penelitian yang sedang diteliti. Analisis sumber bahan hukum dilakukan secara deskriptif dengan tidak menguji teori, tetapi menganalisis konsep-konsep hukum yang mencakup pengertian hukum, norma-norma hukum dan sistem hukum.[10]
Hasil dan Pembahasan
1. Konsep
Sewa Rahim
Menurut W.J.S. Purwadarminto kata “sewa” berarti
pemakaian (peminjaman) sesuatu dengan membayar uang. Sedangkan arti kata
“rahim” yaitu kandungan, jadi pengertian sewa rahim menurut bahasa adalah
pemakaian atau peminjaman kandungan dengan membayar uang atau dengan pembayaran
suatu imbalan.[11]
Sedangkan menurut istilah adalah menggunakan rahim wanita lain untuk
mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah disenyawakan dengan benih
laki-laki (sperma) yaitu pasangan suami istri, dan janin itu dikandung oleh
wanita tersebut sampai lahir kemudian suami istri itu yang ingin memiliki anak
akan membayar dengan sejumlah uang kepada wanita yang menyewakan rahimnya.
Embrio dibesarkan dan dilahirkan dari rahim perempuan lain bukan istri. Untuk
“jasa” nya tersebut, wanita pemilik rahim biasanya menerima bayaran yang
jumlahnya telah disepakati oleh keluarga yang ingin menyewa rahimnya tersebut.
Dan wanita itu harus menandatangani persetujuan untuk segera menyerahkan bayi
yang akan dilahirkannya itu kekeluarga yang telah menyewanya.[12]
Istilah penyewaan rahim (sewa rahim), juga diidentikan
dengan istilah ibu pengganti (surrogate mother). Menurut Koes Irianto, ibu
pengganti adalah wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian
untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan
sejumlah materi kepada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan
karena istri tersebut tidak bisa mengandung.[13]
Adapun pengertian dari sewa rahim itu sendiri adalah
penitipan sperma dan ovum dari sepasang suami istri ke dalam rahim wanita lain.
Penyewaan rahim tersebut biasanya melalui perjanjian atau
persyaratan-persyaratan tertentu dari kedua bela pihak sewa rahim (gestational
agreement) merupakan salah satu dari delapan teknologi bayi tabung yang telah
dikembang para ahli kedoktran. Oleh karena itu sewa rahim merupakan salah satu
jenis dari bayi tabung, maka tak dapat dipungkiri bahwa sejarah munculnya
adalah berawal munculnyalahirnya teknologi bayi tabung itu sendiri.[14]
Menurut kesimpulan penulis, setidaknya harus ada dua
unsur, untuk bisa mendefinisikan penyewaan Rahim, yaitu:
1. Pasangan
suami istri yang menitipkan embrio (janin perjanjian atau kontrak untuk
mengandung dan melahirkan).
2. Wanita
yang bersedia disewa rahimnya untuk penitipan janin tersebut
Jadi Istilah sewa
rahim dengan istilah ibu pengganti adalah hal yang konotasinya sama. Ibu
pengganti adalah subjeknya, sedangkan sewa rahim adalah predikat atau
perbuatannya.
Lebih spesifik, prosedur sewa rahim dapat dijelaskan
melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan yang dimaksuda adalah sebagaimana
berikut:
1) Tahap
pertama,pengobatan merangsang indung telur. Pada tahap ini, istri diberi obat
yang merangsang indung telur, sehingga dapat mengeluarkan banyak ovum.
2) Tahap
kedua, pengambilan sel telur.Apabila sel telur istri sudah banyak, maka
dilakukan pengambilan sel telur yang akan dilakukan dengan suntikan lewat
vagina di bawah bimbingan Ultrasonography (USG).
3) Tahap
ketiga, pembuahan atau fertilisasi sel telur. Setelah berhasil mengeluarkan
beberapa sel telur, suami diminta mengeluarkan sendiri spermanya. Kemudian,
sperma akan diproses dan diseleksi, sehingga sel-sel sperma suami yang baik
saja yang akan dipertemukan dengan sel-sel telur istri dalam tabung gelas
dilaboratorium. Keesokan harinya, diharapkan sudah terjadi pembelahan sel.
4) Tahap
keempat, pemindahan embrio, jika telah terjadi fertilisasi sebuah sel telur
dengan sebuah sperma, maka terciptalah hasil pembuahan yang akan membelah
menjadi beberapa sel, yang disebut dengan embrio. Embrio inilah yangakan
dipindahkan melalui vagina ke dalam rongga rahim ibu penggantinya, 2-3 hari
kemudian.
5) Tahap
kelima, dalam tahap ini adalah tahap pengamatan terjadinya kehamilan, setelah
implantasi embrio, maka tinggal menunggu apakah akan terjadisebuah kehamilan.
Jika 14 hari pasca pemindahan embrio tidak terjadi haid, maka dilakukan
pemeriksaan kencing untuk menentukan adanya kehamilan.
Dari kelima proses diatas, ada perbedaan pada proses
ke empat yaitu antara bayi tabung yang menggunakan rahim istri, dengan bayi
tabung yang menggunakan rahim ibu pengganti.Jika bayi tabung yang menggunakan
rahim istri, maka embrio dipindahkan melalui vagina ke dalam rongga rahim istri.
Begitu pula jika bayi tabung yang menggunakan rahim ibu pengganti, maka embrio
dipindahkan ke dalam rahim ibu pengganti.
Dalam
pasal 127 undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan diatur bahwa
kehamilan di luar cara alamiah hanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang
sah dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Hasil
sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan di tanamkan dalam rahim
istri dari mana ovum itu berasal
b. Dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan
hal itu.
c. Pada
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Maka dari itu, yang diperbolehkan di hukum Indonesia
adalah metode bayi tabung yaitu metode pembuhan antara sperma milik suami dan
ovum milik istri yang terikat dalam perkawinan yang sah di mata hukum yang
kemudian ditanam di rahim istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri
dimana ovum itu berasal. Sedangkan metode atau upaya kehamilan di luar cara
alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 undang-undang nomor 36 tahun 2009
tentang kesehatan tersebut, dalam hal ini ibu pengganti atau surrogate mother
atau penititipan embrio kedalam rahim wanita lain secara hukum tidak dapat
dilakukan di Indonesia.
Praktik sewa rahim atau ibu pengganti selain tidak di
perbolehkan dalam undang-undang, praktik transfer embrio ke rahim titipan
(bukan rahim istri yang memiliki ovum tersebut) difatwakan haram oleh majlis
ulama Indonesia pada tanggal 26 mei 2006. Praktik sewa rahim atau ibu pengganti
secara khusus belum di atur di Indonesiaoleh karena itu, tidak ada perlindungan
hukum bagi para pelaku perjanjiiansewa rahimatauibu pengganti.
Secara redaksional sewa menyewa dapat dihubungkan
dengan kontrak antara pihak pertama dan pihak kedua, dalam pasal 1338 KUH
perdata memang diatur. mengenai kebebasan berkontrak, dimana para pihak dalam
kontrak bebas untuk membuat perjanjian yang di buat secara sah berlaku bagi
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Akan tetapi atas kebebasan berkontrak tersebut tetap
tidak boleh melanggar syarat-syarat sah perjanjian dalam pasal 1320 KUH perdata
yaitu:
a.
Kesepaktan para pihak
b.
Kecakapan para pihak
c.
Mengenai suatu hal tertentu
d.
Sebab yang halal Jadi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa salah satu syarat nya
perjanjian menurut pasal 1320 jo pasal 1337 KUH perdata adalah harus memiliki
sebab yang halal, yaitu tdak brtentangan dengan praturan perundang-undangan,
kesusilaan, maupun dengan ketertiban umun. Seperti yang telah di tulis diatas
praktik ibu pengganti bukan merupakan upaya kehamilan yang dapat dilakukan
menurut undang-undang khususnya undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan, maka dengan demikian syarat sebab halal tersebut tidak terpenuhi.
2. Status
Nasab anak sewa Rahim dalam Hukum Islam
untuk mengetahui stastus nasab anak dari hasil sewa
Rahim maka perlu dibahas terlebih dahulu proses atau cara sewa tersebut.
Inseminasi buatan yang dilakukan pada hewan dan
tumbuhan pada dasarnya adalah mubah (boleh). Kebolehan ini menurut Majelis
Ulama Indonesia (MUI) berlaku jika terdapat kemaslahatan, tidak membahayakan,
tidak ada zat yang haram, dan tidak menggunakan gen manusia atau bagian tubuh
lainnya.[15]
Hukum inseminasi buatan pada manusia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) berdasarkan
dari jenis bayi tabung yang dilakukan:
1. Bayi
tabung yang berasal dari sperma dan ovum suami istri yang disemai dalam rahim
istri
Ulama
memberikan beberapa syarat berkaitan dengan kebolehan bayi tabung ini. Pertama,
teknis inseminasi berupa pengambilan sperma dan ovum penyatuan keduanya dan transplantasi
tidak bertentangan dengan syariat Islam.[16] Kedua,
harus dipastikan sperma adalah milik suami, ovum dan rahim adalah milik istri
serta keduanya dalam ikatan perkawinan.[17]Adanya
kemaslahatan di dalamnya berupa pemenuhan kebutuhan serta tidak mendatangkan
mafsadah sebagai landasan utama dalam menetapkan kebolehan ini. Hal ini sesuai
dengan kaidah fiqih yang artinya “Hajat (kebutuhan yang sangat penting)
diberlakukan seperti dalam keadaan terpaksa, dan keadaan darurat itu
membolehkan untuk melakukan hal yang (awalnya) terlarang”.
Berkenaan
dengan akibat hukumnya, status anak bayi tabung jenis ini adalah sah, tidak ada
perbedaan dengan anak yang lahir dari proses kehamilan alami. Dengan demikian
anak tersebut nasabnya kepada kedua orang tuanya serta mendapatkan hak warisan
dan hak-hak lainnya dari kedua orang tua, keluarga, dan negara (pemerintah).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada persoalan dan tidak ada masalah terkait
hukum berkenaan dengan pengembangan bayi tabung yang menggunakan benih dari
suami istri dan disemai dalam rahim istri sendiri.
2. Bayi tabung yang berasal dari sperma dan atau ovum donator, baik yang disemai dalam rahim istri apalagi dalam rahim ibu pengganti
Hal
yang mendasar pada bayi tabung jenis ini adalah adanya donor sperma dan atau
ovum. Untuk mengetahui hukumnya, dalam surat Al-Baqarah ayat Allah berfirman
yang artinya
“Istri-istrimu adalah ladang
bagimu, maka datangilah ladang itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan
utamakanlah (yang baik) untuk dirimu”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 2)
Ayat
ini tidak menjelaskan langsung tentang keharaman mendonorkan benih. Tetapi bisa
dipahami bahwa yang berhak untuk mendatangi istri hanyalah suami. Maka tidak
diperkenankan orang lain mendatangi dalam bentuk apapun karena tidak memiliki
hak. Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
“Katakanlah kepada laki-laki
yang beriman, agar menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang
demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat”.
Ayat ini memerintahkan seorang
laki-laki mukmin untuk menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan Allah
dan menjaga kemaluannya, termasuk menjaga sperma dari kemaluannya ditaburkan
kepada selain istrinya. Begitu pula sebaliknya, seorang perempuan mukmin
diperintahkan untuk menundukkan sebagian pandangannya dan menjaga kemaluannya
jangan sampai menerima sperma yang bukan berasal dari suaminya. Lebih lanjut
hadis Rasulullah saw. menjadi penjelasan dari ayat di atas:
Yang artinya “Rufai’ bin Sabit al-Ansari
berkata : Seorang khatib pernah berkata : Sungguh saya tidak akan mengatakan
kecuali yang saya dengar dari Rasulullah SAW, beliau berkata pada saat perang
Hunain: “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
menyiramkan airnya dalam ladang orang lain.” (H.R. Abu Daud).
Rasanya sudah cukup dari ketiga ayat diatas ditambah
penjelasan hadis sebagai dalil keharaman donor sperma dan ovum begitu pula
haram inseminasi yang menggunakan donor salah satu atau keduanya. Dengan
demikian perbuatan tersebut termasuk zina dan dosa besar walaupun tidak melakukan
hubungan badan secara langsung, tetapi berupa pertemuan benih manusia yang
tidak diikat dengan perkawinan. Keharaman ini dikuatkan dengan fatwa MUI tahun
1979 tentang bayi tabung.[18]
Berdasarkan hal tersebut, maka status anak yang
dilahirkan dari sperma donor dan ovum dari istri yang kemudian
ditransplantasikan dalam rahim istri sama dengan anak yang lahir dari perbuatan
zina dengan demikian status nasabnya hanya bersambung ke ibu. Menurut Syaltut
yang dikutip oleh Yusuf alQardawi, tidak diragukan lagi bahwa anak yang berasal
dari pencangkokan dari sperma orang lain adalah suatu kejahatan yang sangat
buruk melebihi tabanni (pengangkatan anak). Karena anak dari sperma asing
menghimpun dua kejahatan sekaligus; memasukkan unsur asing dalam nasab dan
perbuatan zina yang bertetangan dengan syariat, kesusilaan, akal sehat, dan
menjatuhkan derajat manusia seperti binatang.[19]
3. Bayi tabung yang berasal dari sperma suami dan ovum istri tetapi disemai dalam rahim ibu pengganti
Ulama
berbeda pendapat terkait hukum bayi tabung jenis ini. Sebagian kecil ulama
membolehkannya seperti Ali Akbar, Salim Dimyati, dan Husain Yusuf dari
Indonesia.[20]
Namun sebagian besar ulama di Indoneisa dan semua ulama internasional
mengharamkan bayi tabung jenis ini. Ulama yang menghalalkannya berdalil dengan
mengqiyaskan kebolehan mengambil ibu susuan dengan ibu yang mengandung anak
titipan. Anak yang lahir kemudian hanyalah anak susuan, dan yang menjadi ibu
sebenarnya adalah ibu yang memiliki ovum.
Sedangkan
ulama yang mengharamkan memberikan banyak argumen atas keharamannya. Pertama,
seorang wanita tidak berhak menyewakan rahim karena penetapan nasab dan cara
untuk memperolehnya adalah hak syariat. Kedua, menggunakan rahim
pengganti sama dengan memasukkan sperma dengan ovum dalam rahim orang lain dan
perbuatan ini tidak dibenarkan. Ketiga, Islam melarang perempuan minum
dari sisa minuman laki-laki yang bukan mahram agar liurnya tidak bercampur
dengan liur laki-laki ajnabi (asing), maka penyewaan rahim tentu lebih
diharamkan. Keempat, tidak adanya hubungan antara suami dengan pemilik
rahim sewaan atau pengganti pada percampuran nasab, hilangnya kehormatan
(tabiat baik), berikutnya menghancurkan keluarga dan mengancam masyarakat. Kelima,
membuka peluang penyalahgunaan rahim sebagai komoditas perdagangan.[21] Selain
itu penyewaan rahim justur akan merendahkan harkat dan martabat manusia yang
telah dimuliakan Allah SWT.
Keharaman
di atas juga diberlakukan jika menggunakan rahim istri yang lain (suami
poligami) karena kemungkinan terjadi percampuran nasab dari pihak istri.[22]
Juga perlu dipahami bersama bahwa setiap suami yang memiliki istri lebih dari
satu ia suami memiliki akad tersendiri pada setiap istri. Jika punya dua istri
maka terdapat dua akad yang terpisah dari masing-masing istri dan tidak saling
mempengaruhi. Bila salah satu istri dari suami yang memiliki istri lebih dari
satu ditalak tentu tidak mempengaruhi status perkawinan istri yang lain,
demikian pula rahim. Oleh karenanya dalam keluarga poligami, suami tidak berhak
menggunakan rahim istrinya untuk meyimpan embrio dari istri yang lain.
Permasalahan
yang timbul di kemudian hari dari sewa rahim adalah menentukan siapa ibu dari
anak yang dilahirkan. Ulama berbeda pendapat, sebagian menetapkan ibu pemilik
ovum yang menjadi ibu sebenarnya (nasab) dan ibu pemilik rahim sebagai ibu
susuan, sebagian ulama lainnya menetapkan ibu pemilik rahim sebagai ibu
nasabnya dan ibu pemilik rahim sebagai ibu susuan.
Kelompok
pertama melihat embrio yang ditanam sebagai cikal bakal anak yang
membawa gen orang tua tidak dipengaruhi oleh rahim. Apalagi embrio titipan
tersebut berasal dari suami istri yang dalam ikatan perkawinan. Selain itu,
menggunakan rahim orang lain tidak dapat dikatakan sebagai zina yang menghapus
nasab pemilik embrio.[23]Maka
menurut kelompok ini nasab anak dari rahim pengganti lebih dekat kepada orang
tua pemilik embrio.
Kelompok kedua, membangun
pendapatnya berdasarkan dzahir ayat “Sesungguhnya ibu mereka hanyalah yang
melahirkan mereka...”
Pewarisan
sifat tentunya pada ibu pemilik ovum karena membawa gen darinya. Adapun
ayat-ayat yang berbicara bahwa yang melahirkanlah sebagai ibu bersifat umum,
khususnya berkaitan dengan bantahan terhadap perbuatan dzihar
(menyamakan/menganggap istri sebagai ibu). Jalinan nasab antara ibu pemilik
ovum dan anak yang dari rahim sewaan di sini tidak menghilangkan hukum
keharaman sewa Rahim.
3. Kewarisan
anak sewa Rahim dalam hukum Islam
Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan
harta peninggalan orang yang telah meninggal, baik berupa benda yang wujud
maupun berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut
hukum.[24]
Dalam penelitian ini yang dibahas adalah kewarisan bayi tabung dengan ibu
pengganti. Dalam praktik kedokteran di Indonesia maupun kejelasan
pengaturannya, hanya praktik bayi tabung saja yang telah diketahui dan disahkan
keberadaannya, serta telah dilakukan praktiknya secara terbuka. Sedangkan
mengenai sewa rahim sampai saat ini belum ada peraturan yang jelas mengenai
keabsahan hal tersebut.
Menurut hasil ijtihad Ulama Komisis Fatwa MUI
menyatakan bahwa anak yang lahir dari transfer embrio ke rahim titipan adalah
anak laqith atau anak temuan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa anak laqith
atau anak temuan hanya mempunyai hubungan kewarisan dengan orang yang
mengakuinya bahwa mempunyai hubungan nasab dengan anak laqith tersebut.[25]
Maka dengan demikian, hasil bayi tabung dengan sewa Rahim sama statusnya dengan
anak temuan dan anak temuan sama dengan anak angkat.
Mengenai hal tersebut di jelaskan juga bahwa bagian
hak waris bagi anak angkat dari hasil sewa rahim yang dinisbatkan sebagai anak
angkat dan mengingat bahwa ada peraturan pembagian warisan bagi anak angkat
yang sudah diatur sebelumnya yaitu dalam KHI pasal 209 ayat 1 dan 2 yang
menyatakan bahwa:
Ayat
1 : “Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan
193 sedangkan orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya”.
Ayat
2 : “Terhadap anak angkat yang tdak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.
Maka berdasarkan kedua pasal diatas bahwa harta
warisan seorang anak angkat atau orang tua angkat harus dibagi sesuai dengan
aturannya yaitu dibagikan kepada orang-orang yang memiliki pertalian darah
(kaum kerabat) yang menjadi ahli warisnya.
Bahwa
dalam hukum kewarisan Islam, ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling
mewarisi, yaitu pertama karena hubungan kekerabatan, atau keturunan karena
hasil perkawinan yang sah dan karena hubungan wala’ antara hamba sahaya dan
tuan yang memerdekakannya. Dari tiga faktor ini, anak hasil bayi tabung melalui
sewa rahim dalam hukum Islam masih terdapat perbedaan diantaranya ada sebagian
pakar hukum Islam yang mengatakan bahwa anak hasil bayi tabung melalui sewa
rahim tersebut tidak sah karena pada dasarnya bayi tabung tersebut hukumnya
haram dan sebagai akibat hukumnya nasab anak tersebut hanya berhubungan dengan
ibu yang melahirkannya, setelah diketahui kenasabannya maka dengan sendirinya
secara hukum kewarisannya pun ikut kepada ibu yang melahirkannya, maka antara
anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung melalui sewa rahim dengan ibu
yang melahirkan dapat saling mewarisi antara keduanya, karena wanita tersebut
yang mengandung dan melahirkannya.
Sebagaimana
telah diketahui bersama bahwa bayi tabung pada manusia melalui sewa rahim lebih
banyak mendatangkan mudharatnya daripada maslahat. Maslahat yang dibawa bayi
tabung melalui sewa rahim ialah membantu suami istri yang mandul, baik keduanya
maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan
pembuahan normal. Akan tetapi mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar
daripada maslahat yang didapatkan dari teknik bayi tabung melalui sewa rahim
tersebut, diantaranya adalah percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga
kesucian atau kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada
kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.
Ketentuan
diatas juga di dukung oleh surat keputusan MUI yang juga menfatwakan bahwa bayi
tabung yang bukan dari sperma dan ovum istrinya sendiri hukumnya harus sesuai
dengan ketentuan kedua pasal tersebut yaitu keputusan MUI No :
Kep-952/MUI/XI/1990 tentang inseminasi buatan, yang mana memfatwakan bahwa
“Bayi hasil inseminasi buatan yang tidak berasal dari sperma dan ovum dari
pasangan suami istri yang sah maka hukumnya menurut agama adalah haram, karena
statusnya sama dengan hubungan kelamin lawan jenis diluar pernikahan atau zina”
A. Kesimpulan
Status
Nasab anak yang dilahirkan dengan menyewa Rahim yaitu Ulama berbeda pendapat,
sebagian menetapkan ibu pemilik ovum yang menjadi ibu sebenarnya (nasab) dan
ibu pemilik rahim sebagai ibu susuan, sebagian ulama lainnya menetapkan ibu
pemilik rahim sebagai ibu nasabnya dan ibu pemilik rahim sebagai ibu susuan.
Kelompok pertama melihat
embrio yang ditanam sebagai cikal bakal anak yang membawa gen orang tua tidak
dipengaruhi oleh rahim. Apalagi embrio titipan tersebut berasal dari suami
istri yang dalam ikatan perkawinan. Selain itu, menggunakan rahim orang lain
tidak dapat dikatakan sebagai zina yang menghapus nasab pemilik embrio. Maka
menurut kelompok ini nasab anak dari rahim pengganti lebih dekat kepada orang
tua pemilik embrio.
Kelompok kedua, membangun
pendapatnya berdasarkan dzahir ayat “Sesungguhnya ibu mereka hanyalah yang
melahirkan mereka...”
Pewarisan sifat tentunya pada ibu
pemilik ovum karena membawa gen darinya. Adapun ayat-ayat yang berbicara bahwa
yang melahirkanlah sebagai ibu bersifat umum, khususnya berkaitan dengan
bantahan terhadap perbuatan dzihar (menyamakan/menganggap istri sebagai ibu).
Jalinan nasab antara ibu pemilik ovum dan anak yang dari rahim sewaan di sini
tidak menghilangkan hukum keharaman sewa Rahim
Bahwa dalam hukum kewarisan Islam, ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling mewarisi, yaitu pertama karena hubungan kekerabatan, atau keturunan karena hasil perkawinan yang sah dan karena hubungan wala’ antara hamba sahaya dan tuan yang memerdekakannya. Dari tiga faktor ini, anak hasil bayi tabung melalui sewa rahim dalam hukum Islam masih terdapat perbedaan diantaranya ada sebagian pakar hukum Islam yang mengatakan bahwa anak hasil bayi tabung melalui sewa rahim tersebut tidak sah karena pada dasarnya bayi tabung tersebut hukumnya haram dan sebagai akibat hukumnya nasab anak tersebut hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya, setelah diketahui kenasabannya maka dengan sendirinya secara hukum kewarisannya pun ikut kepada ibu yang melahirkannya, maka antara anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung melalui sewa rahim dengan ibu yang melahirkan dapat saling mewarisi antara keduanya, karena wanita tersebut yang mengandung dan melahirkannya.
*Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum angkatan tahun 2006; advokat di LKBHI UIN KHAS Jember.
Daftar Pustaka
A’an Efendi, Dyah Ochtorina Susanti, Rahmadi Indra Tektona, Penelitian Hukum Doktrinal, Cetakan Pertama, LaksBang Justitia, Yogyakarta, 2019
Desriza Ratman, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?,(Jakarta: PT Elex Media Komputindo,2012)
Husni Thamrin, Hukum Sewa Rahim Dalam Bayi Tabung, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015)
Koes Irianto, Panduan Lengkap Biologi Reproduksi Manusia (Human Reproductive Biology) Untuk Para Medis Dan Nonmedis, (Bandung : Alfabeta, 2014).
Munawaroh, “Analisa Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pelaksanaan Sewa Rahim”, (skripsi ini tidak diterbitkan, IAIRM Ponpes Walisongo Ngabar)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Cetakan Ke-15, Kencana, Jakarta, 2021
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUHPerdata (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Sonny
Dewi Judiasih, Aspek Hukum Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Indonesia,
(Bandung : Pt Refika Aditama 2016)
Yusuf al-Qardawi, Al-Halal Wa al-Haram, terjemah. Muhammad Hamidy (Surabaya : Bina Ilmu, 1990)
Jurnal
Abhimantara, I. B. Akibat Hukum Anak Yang lahir Dari Perjanjian surrogate mother. Notaire, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2018.
Undang-undang
Kompilasi Hukum
Islam
Majelis Ulama
Indonesia, “Fatwa Nomor 35 Tahun 2013 Tentang Rekayasa Genetika Dan Produknya”
undang-undang
nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
[1] Koes
Irianto, Panduan Lengkap Biologi Reproduksi Manusia (Human Reproductive
Biology) Untuk Para Medis Dan Nonmedis, (Bandung : Alfabeta, 2014).h, 314
[2] Husni Thamrin, Hukum
Sewa Rahim Dalam Bayi Tabung, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015),
halaman. 9
[3] Desriza Ratman, Surrogate
Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?,(Jakarta:
PT Elex Media Komputindo,2012) h, 2
[4] Sonny Dewi Judiasih, Aspek
Hukum Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Indonesia, (Bandung : Pt Refika
Aditama 2016), h. 13
[5] Salim HS, Perkembangan
Hukum Kontrak diluar KUHPerdata (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006),
h, 1
[6] Desriza Ratman, Surrogate
Mother Dalam Perspektif Etika Dan Hukum : Bolehkah Sewa Rahim Di Indonesia?
h, 38
[7] Abhimantara, I. B. Akibat
Hukum Anak Yang lahir Dari Perjanjian surrogate mother. Notaire, Volume 1
Nomor 1 Tahun 2018.h, 41
[8] A’an Efendi, Dyah Ochtorina Susanti, Rahmadi Indra Tektona, Penelitian
Hukum Doktrinal, Cetakan Pertama, LaksBang
Justitia, Yogyakarta, 2019, h,32
[9] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi,
Cetakan Ke-15, Kencana, Jakarta, 2021, hlm. 133-134
[10] A’an Efendi, Dyah Ochtorina Susanti, Rahmadi Indra Tektona, Op. Cit., h, 119
[11] Munawaroh,
“Analisa Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pelaksanaan Sewa Rahim”,
(skripsi ini tidak diterbitkan, IAIRM Ponpes Walisongo Ngabar),h, 41
[12] Koes
Irianto, Panduan Lengkap Biologo Reproduksi Manusia, (Bandung: Alfabeta,2014),
h, 156
[13] Koes Irianto, h, 157
[14] Zuhri Hidayat, Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Kewarisan Anak Yang Dilahirkan Melalui Sewa Rahim (Surrogate
Mother), skripsi. h, 28
[15] Majelis
Ulama Indonesia, “Fatwa Nomor 35 Tahun 2013 Tentang Rekayasa Genetika Dan
Produknya” (2013)
[16] Dwi
Atika, Status Nasab Dan Kewarisan Anak Hasil Sewa Rahim Perpektif Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Dan Kompilasi Hukum Islam. Skripsi. h, 50
[17] Dwi
Atika.Skripsi.h,50
[18] Majelis
Ulama Indonesia, “Fatwa MUI Tahun 1979 Tentang Bayi Tabung.”, poin ke-4.
[19] Yusuf
al-Qardawi, Al-Halal Wa al-Haram, terjemah. Muhammad Hamidy (Surabaya :
Bina Ilmu, 1990). h. 312
[20] Dwi
Santika.h, 54
[21] Dwi Santika. h, 54
[22] Dwi Santika. h, 54
[23] Ziyad
Ahmad Salamah, Atfal Al-Anabib Baina Al-Ilm Wa Al-Syari’ah, 1969, h.
136.
[24] Effendi
Perangin, Hukum Waris (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2014),h, 3
[25] Dwi
Atikah.h, 65
Baihaki Ghazali, S.PdKepala Madrasah Aliyah Bahrul UlumPondok Pesantren Bahrul Ulum didirikan pada tahun 1956 oleh Almaghfurllah KH. Arifurrahman. Sejak awal, pesantren ini telah menjadikan pri
Load MoreHodri Ariev*Sabda Baginda Nabi Muhammad saw. ini sangat masyhur, hingga terkadang seperti biasa saja dan tidak punya pesan mendalam. Pada sisi yang lain, pesan ini bisa disalahpahami hingga potensial
Load MoreSejak awal Juni 2024, sangat banyak kontroversi berkaitan dengan eksplorasi tambang. Pasalnya, PBNU menerima tawaran pemerintah menambang batubara di kalimantan. Dari begitu banyak pandangan yang m
Load MoreUbaidillah, M.PdStaf Pengajar Madaris Bahrul Ulum Allah SWT menciptakan manusia, sebagai khalifah di bumi. Oleh karena itu Allah memberi bekal kepadanya, segala bentuk panca indra dan kemampua
Load MoreAhmad Zaini* Pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang ditempuh oleh setiap orang, baik yang bersifat formal maupun non formal. Dalam sudut pandang lain, pendidikan dapat diartikan sebagai su
Load More