Pustaka

Artikel

Soal Tambang dan Fikih Lingkungan

Sejak awal Juni 2024, sangat banyak kontroversi berkaitan dengan eksplorasi tambang. Pasalnya, PBNU menerima tawaran pemerintah menambang batubara di kalimantan. Dari begitu banyak pandangan yang muncul, sebagian besar tidak setuju, bahkan menyalahkan PBNU karena menerima tawaran untuk menambang batubara, dengan semangat melestarikan lingkungan yang menjadi ideologi gerakan. Sialnya, isu ini digoreng sedemikian rupa sehingga Nahdliyin pun ikut-ikutan menyalahkan PBNU tanpa melakukan klarifikasi, baik kepada PBNU sendiri atau Pengurus NU terdekat.

Tulisan berikut adalah beberapa catatan KH. Ulil Abshar Abdalla di facebook beliau berkaitan dengan isu eksplorasi tambang dimaksud. Selamat menikmati

 

I

Soal Tambang dan Fikih Lingkungan

TULISAN pendek ini saya kemukakan sebagai pelengkap kolom saya di Kompas (20/7) yang lalu. Niat saya menulis catatan ini bukan untuk MEMENANGKAN debat atau adu argumen. Saya hanya mengemukakan sudut pandang yang lain tentang isu tambang dan lingkungan.

Dengan kata lain, saya tidak memiliki pretensi “misionaris” dalam pengertian mengubah pandangan anda karena membaca tulisan ini. Jika anda “terbujuk” dan teryakinkan oleh argumen dalam tulisan ini, alhamdulillah. Jika tidak, tak masalah. Saya hanya mengemukakan pandangan yang berbeda saja.

Karena tak memiliki niat “misionaris”, maka saya juga tidak punya rencana untuk melakukan polemik berkepanjangan. Jika suatu ide dikemukakan, lalu ditanggapi, ditanggapi-balik, kemudian ditanggapi balik kembali, maka, bagi saya, itu sudah cukup. Yang penting teman-teman sudah mendapatkan gambaran tentang perbedaan sudut pandang tentang masalah ini.

Tujuan lain dari tulisan saya ini (semoga saja berhasil) adalah untuk “mematahkan” kleim bahwa hanya ada satu versi saja dalam memahami soal lingkungan, climate change; bahwa soal climate change sudah merupakan konsensus di kalangan saintis. Kenapa saya menarik isu tambang ini ke soal besar tentang “climate change”? Karena, menurut saya, memang asal-usulnya dari sana. Kalau diskusi tidak ditarik ke isu itu, kita hanya berputar-putar di pinggir kolam saja; tidak “njegur” atau menceburkan diri ke dalam palung kolam itu.

Baik, mari saya mulai mengetangahkan gagasan saya.

Fikih lingkungan

Berkali-kali saya mengetengahkan gagasan soal “fikih lingkungan” dan dengan keras membedakannya dari “ideologi lingkungan”. Apa yang saya maksud dengan gagasan itu?

Fikih lingkungan adalah cara memandang segala sesuatu, termasuk soal lingkungan, dengan sudut pandang fikih (tentu yang saya maksud dengan fikih di sini juga mencakup dua aspek sekaligus: ushul fikih dan kaidah fikih). Fikih adalah tradisi khas ulama dan kiai NU. Sebagai warga NU, saya lebih suka menggunakan pendekatan ini ketimbang pendekatan lain.

Tentu saja fikih tok tidak memadai. Kiai Sahal Mahfudz (mantan Rais Aam PBNU dan Ketum MUI, sekaligus guru saya yang amat alim dalam fikih) pernah menggagas apa yg dia sebut “fikih sosial”. Yakni, fikih yang didaya-gunakan serta dikembangkan untuk menjawab masalah-masalah sosial, termasuk soal lingkungan. Agar fikih konvensional menjadi fikih sosial, demikian kira-kira kata Kiai Sahal, maka fikih yang ada harus dilengkapi dengan pendekatan multi-disiplin, termasuk filsafat, sosiologi, dan piranti-piranti keilmuan yang lain.

Tetapi, walau menggunakan piranti ilmu yang beragam, pada akhirnya fikih sosial adalah fikih dengan ciri-cirinya yang khas. Salah satu ciri fikih sejak dulu adalah: terbuka pada pandangan yang beragam (ta’addud al-ara’), realis/pragmatis (dalam pengertian memperhatikan aspek praktis di lapangan, bukan semata-mata teoritis), kontekstual, dan dinamis. Tentu masih ada banyak ciri yang lain untuk fikih sebagai “diskursus ilmiah”. Saya hanya menyebutkan beberapa saja.

Kaidah dasar fikih, terutama dalam melihat masalah-masalah yang disebut “mu’amalah” (public affairs) adalah sederhana: al-ashlu fi-l-mu’amalati al-ibahah; hukum dasar dalam segala hal yang terkait dengan mu’amalah adalah boleh, kecuali jika ada dalil agama yang jelas-jelas mengharamkannya. Dalil ini memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk mengeksplorasi segala aktivitas duniawi dengan segala renak-reniknya, termasuk aktivitas mengelola bumi dan segala isinya. Tentu saja eksplorasi ini harus didasari oleh pertimbangan mashlahat dan mafsadat.

Tidak seperti dugaan orang pada umumnya, pendekatan fikih justru tidak menekankan aspek halal-haram. Tuduhan seperti ini “imma” datang dari orang-orang yang tidak tahu fikih sama sekali, atau orang-orang yang memiliki bias “modernisasi” yang salah arah. Pendekatan fikih justru menekankan aspek “ibahah” (permissibility) atau kebolehan segala hal asal tidak ada larangan yang tegas dari agama.

Dengan nalar semacam inilah, kurang lebih, NU dulu menerima Pancasila pada 1983, dengan resiko dicaci maki kiri-kanan; dituduh oportunis, takut dan takluk pada rezim Orba, ingin dekat dengan pemerintah, dsb. Caci-makian pada NU saat itu (yang masih mengalami zaman itu pasti ingat) tak kurang dari caci maki yang berhamburan saat ini saat NU menerima tawaran konsesi tambang dari pemerintah. Saat itu NU tidak mundur; jalan terus dengan keputusannya untuk menerima Pancasila. Saat ini, menerima Pancasila tentu dipandang sebagai hal sepele dan remeh; sama sekali tidak istimewa. Tetapi pada zamannya, keputusan ini menimbulkan kontroversi dan cacian yang luar biasa.

Kembali kepada pokok masalah, pertimbangan dasar dalam menyikapi segala hal dalam soal mu’amalah, menurut saya, ada dua: (1) dalil al-istishab, yakni kebolehan segala sesuatu sebagai hukum asal; dan (2) kemaslahatan (al-maslahah al-mursalah). Tentu saja bisa ditambahkan dalil atau pertimbangan lain sebagai pendukung.

Mari kita terapkan kerangka ini dalam soal tambang. Apakah tambang, terutama batubara (karena inilah yang menjadi “mahallun niza’”, sumber kontroversi, saat ini), haram atau halal? Dalam fikih, ada tradisi menjawab segala hal dengan metode tafsil, alias diperinci. Ini mirip dengan metode yang dalam ilmu debat (al-jadal, disputatio) disebut “al-sabr wa al-taqsim” (observasi dan kategorisasi). Dalam fikih, kita tidak bisa menghukumi sesuatu secara “gelondongan” (kulli), umum, tanpa diperinci.

Pertanyaan di atas bisa dijawab dengan tafsil atau perincian. Sesuatu bisa dipandang haram (atau halal) dari dua sudut pandang: li-dzatihi, pada dirinya sendiri, atau li-ghairihi, karena sesuatu di luar dirinya. Tambang, termasuk batubara, pada dirinya sendiri (li dzatihi) jelas tidak bisa disebut haram. Tidak ada dalil agama (Islam) manapun yang mengharamkan tambang dan pengelolaannya. Karena itu ia masuk dalam kaidah asal tentang kebolehan segala sesuatu. Sama dengan sawah, tambak, sungai, hutan, laut dan sumber-sumber daya alam yang lain, tambang adalah anugerah Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia untuk dimanfaatkan bagi sebesar mungkin kemaslahatan umum.

Tambang pada dirinya jelas tidak haram. Ia jelas halal. Ia adalah anugerah Tuhan bagi manusia, terutama bagi bangsa Indonesia. Kampanye aktivis lingkungan akhir-akhir ini untuk ma-najis-kan dan mengharamkan tambang harus ditolak. Kampanye ini, selain tidak bisa dipertahankan dari sudut nalar fikih dan “common sense” biasa, juga lemah secara saintifik. Bagian ini akan saya bahas dalam seri kedua tulisan ini. Bagian ini hanya mengkhususkan diri pada aspek fikih saja.

Meski demikian, sesuatu yang semula halal pada dirinya (li-dzatihi), karena keadaan tertentu (bahasa fikihnya: li-‘aridlin), bisa berubah menjadi haram. Ia disebut sebagai “haram li-ghairihi”, haram karena sesuatu yang ada di luar dirinya. Jika pengelolaan tambang ditempuh dengan cara-cara yang menimbulkan mafsadat terlalu besar, maka ia bisa menjadi haram. Tetapi keharaman di sini bukan sesuatu yang bersifat li-dzatihi. Pada dirinya sendiri tambang tidak bisa diharamkan. Dia halal berdasarkan premis “istishab al-ashl”, kebolehan sesuatu dari segi hukum asalnya.

Kalkulasi maslahat-mafsadat

Salah satu nalar yang dipakai dalam fikih adalah kalkulasi masalahat-mafsadat, “harm and benefit”. Dalam banyak kasus kita menjumpai sesuatu yang tidak hanya mengandung maslahat (manfaat), melainkan dua hal sekaligus: masalahat dan mafsadat (kerugian). Dalam kasus yang lain, kita bahkan menjumpai keadaan di mana ada dua mafsadat sekaligus: mafsadat yang satu lebih besar dari yang lain. Keadaan-keadaan seperti ini jelas menimbulkan dilema moral. Menghadapi keadaan seperti ini, fikih mengenalkan dua kaidah pokok:

(1) Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil masalih: menghindari mafsadat atau bahaya harus diprioritaskan katimbang memburu maslahat. Contoh yang biasa dipakai dalam literatur fikih ialah: memperjual-belikan “liquor” atau minuman beralkohol (muskirat). Meskipun jual-beli khamar atau minuman beralkohol mengandung maslahat (berupa keuntungan atau laba jual beli), tetapi status khamar sendiri adalah haram. Karena itu jual beli khamar diharamkan. Pengharaman jual beli khamar didasarkan pada nalar: jika ada hal mengandung maslahat dan mafsadat sekaligus, maka aspek mafsadat yang harus didahulukan.

Kaidah kedua adalah:

(2) Idza ta’aradlat mafsadatani ru’iya akhaffuhuma: jika ada dua tindakan yang sama-sama mengandung mafsadat (bahaya), dipilihlah tindakan yang paling kecil mafsadat-nya. Dalam filsafat etika ini dikenal dengan prinsip “lesser evils” seperti dibahas oleh Aristoteles dalam karyanya yang masyhur, “Nicomachean Ethics.” Contoh yang terkenal dalam dilema moral seperti ini adalah: bus yang rusak remnya dan hendak tercebur jurang. Jika supir membelokkan bus, seluruh penumpang akan selamat, tetapi dengan resiko menabrak seorang anak yang sedang melintas. Jika ia terus, bus akan tercebur ke jurang dan seluruh penumpang akan tewas. Mana pilihan yang harus diambil oleh supir?

Contoh yang dipakai dalam literatur fikih adalah kasus berikut ini: seorang yang sedang haji dan terancam mati karena kelaparan. Di hadapannya hanya tersedia dua pilihan untuk “survive”: memakan bangkai (yang diharamkan oleh agama), atau daging hewan hasil buruan (yang juga diharamkan dalam agama; semua hewan yang ada di tanah suci [Mekah dan Madinah dengan batas-batas tertentu] tidak boleh diburu dan diganggu untuk menghormati kesuciannya).

Menghadapi keadaan dilematis seperti ini, fikih memberikan jalan keluar: boleh memakan daging hewan buruan walau pun haram. Sebab level keharamannya lebih ringan dari bangkai.

Dalil-dalil semacam ini memberikan keleluasaan bagi seorang “faqih” (ahli fikih) untuk menimbang-nimbang kalkulasi maslahat-mafsadat atau mafsadat besar vs mafsadat yang lebih ringan. Tentu saja setiap ulama akan memgambil kesimpulan yang berbeda, karena ia memiliki pertimbangan yang berbeda pula dalam menentukan kalkulasi masalahat-mafsadat tersebut. Dalam nalar fikih, perbedaan dalam menentukan hukum adalah hal biasa. Perbedaan dalam fikih disebut sebagai “khilafiyyat”, sesuatu yang sudah lumrah terjadi sejak dahulu. Perbedaan dalam hal “khilafiyyat” tidak membuat seseorang harus dikafirkan, dimusuhi, dikucilkan, atau di-cancel.

Ini berbeda dengan situasi saat ini. Di dalam dunia sekular (terutama di Barat) yang diasumsikan telah “bersih” dari diskriminasi dan persekusi karena alasan-alasan keagamaan, kita menyaksikan munculnya kembali persekusi dalam bentuk lain: yaitu apa yang disebut dengan “cancel culture”, budaya meng-cancel atau mengucilkan orang lain (hingga menutup akses orang bersangkutan pada pekerjaan) karena perbedaan pandangan dalam isu-isu tertentu yang memang “polarizing”, memecah belah. Isu climat change masuk dalam kategori ini. Seseorang yang memiliki pandangan yang (sebut saja) heterodoks atau menyimpang dari “the so-called” ortodoksi sains mengenai climate change, akan mengalami peng-cancel-an. Ini terjadi karena soal lingkungan sudah berubah menjadi isme atau ideologi.

Kalau memakai bahasa Islam, di Barat isu lingkungan ini sudah berubah menjadi “akidah” (dalam bentuknya yang telah disekularkan, tentunya!), bukan lagi isu fikih. Kecenderungan meng-akidah-kan isu lingkungan (climate change), menurut saya, adalah sumber dari pandangan yang diam-diam menajiskan tambang. Saya memandang, masalah tambang ini harus di-downgrade ke level fikih saja. Ini masalah khilafiyyah biasa. Perbedaan tak usah menyebabkan seseorang “dikafirkan”, yakni di-cancel, dianggap jahat. Kecenderungan ini saya lihat begitu menonjol di kalangan para aktivis lingkungan, atau sekurang-kurangnya sebagian dari mereka.

Bagaimana menerapkan dua kaidah di atas dalam kasus tambang saat ini? Saat ini ada gerakan internasional untuk menangani pemanasan global dan perubahan iklim dengan apa yang disebut net zero emission (NZE), yaitu menjaga keseimbangan antara gas rumah kaca yang dikirim (dari bumi) dan dikeluarkan (dari atmosfer) sehingga mencapai hasil akhir: nol.

Lepas dari soal kontroversi dan pro-kontra di antara para saintis mengenai “natuur” atau watak dari climate change (apakah peran manusia cukup besar atau minimal saja), yang jelas ada langkah global yang sudah diambil oleh sejumlah negara untuk menanganinya. Masing-masing negara membuat komitmen untuk mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca lain. Setiap negara memiliki jadwal masing-masing untuk mencapai titik net zero. Indonesia, misalnya, menargetkan akan mencapai net zero pada 2060, kalau tidak salah.

Dengan kata lain, hingga tahun itu, masih ada ruang bagi negeri kita untuk memanfaatkan energi fosil yang dipandang sebagai sumber emisi karbon dan menimbulkan pemanasan global atau efek rumah kaca.

Logic yang mendasari kebijakan net zero ini, menurut saya, adalah kaidah “idza ta’aradlat mafsadatani” atau prinsip “lesser evils” di atas. Sebab, mustahil menghentikan penggunaan energi fosil seperti minyak, gas, dan batubara secara mendadak saat ini. Terminasi secara total penggunaan batubara sekarang juga jelas akan menimbulkan mafsadat (chaos/kekacauan) besar, sebab mayoritas konsumsi energi yang kita pakai hari-hari ini, terutama untuk listrik, masih dipasok oleh batubara. Berapa juta orang yang terdampak oleh kebijakan terminasi semacam ini? Berapa juta murid yang harus kehilangan kesempatan belajar karena mati listrik akibat terminasi penggunaan batubara, misalnya? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Di sini, kita berhadapan dengan situasi dilematis: antara memakai batubara tetapi menimbulkan emisi karbon yang bisa menyebabkan pemanasan global, atau menghentikannya sama sekali, tetapi bisa menimbulkan kekacauan yang luar biasa. Di sinilah kita berhadapan dengan dilema moral. Dari dua mafsadat di atas, kita harus memilih mafsadat yang lebih ringan. Hasilnya ialah: tetap memakai batubara sambil pelan-pelan menyiapkan strategi untuk transisi ke energi non-fosil.

Dengan memakai nalar fikih seperti ini, kita bisa mencapai semacam “win-win solution”, meskipun tidak sempurna. Kita tetap memperhatikan aspek lingkungan dengan menetapkan jadwal bagi net zero emission secara gradual, tetapi di pihak lain kita juga memperhatikan kebutuhan masyarakat akan listrik yang terjangkau. Dengan kebijakan seperti ini, mafsadat yang lebih besar (yaitu kekacauan sosial karena terminasi penggunaan energi fosil secara mendakak) bisa dihindarkan.

Dengan demikian kita bisa menyimpulkan beberapa hal berikut: batubara pada dirinya sendiri (li dzatihi) jelas tidak haram. Batubara adalah bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada bangsa ini; sama seperi sawah, sungai, hutan, lautan, dll. Ia harus dikelola sebaik-baiknya untuk kemaslahatan manusia.

Meski tambang adalah halal “li dzatihi”, tetapi, karena situasi tertentu, ia bisa menjadi haram. Ini terjadi, misalnya, pada kasus ketika tambang dieksplorasi secara sembarangan sehingga menimbulkan kerusakan alam dan bencana alam. Pengelolaan tambang dan sumber daya alam pada umumnya haruslah memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh aturan.

Dengan memakai nalar fikih ini, ada hal yang bisa kita hindari, yaitu menganggap bahwa tambang, terutama batubara, adalah barang najis dan haram. Pandangan aktivis lingkungan atau para simpatisannya agaknya cenderung ke arah menajiskan ini.

Dari mana asal-usul pandangan yang “ekstrem” seperti ini? Saya akan membahas dalam seri tulisan kedua besok.

 

II

“Iqtishadiyah” Sebagai Model Berpikir

Dalam bahasa Arab modern, istilah iqtishad biasa diterjemahkan sebagai “ekonomi”. Iqtishadiyah kira-kira bermakna “economics” (ilmu ekonomi) atau “bersifat ekonomis”. Tetapi istilah itu memiliki pengertian lain yang jauh lebih pas dengan makna asalnya (al-qashdu: tengah-tengah). Iqtishadiyah berarti “tengah-tengah”, sepadan dengan istilah lain seperti “tawassut” atau moderasi. Istilah iqtishadiyah ini memang jarang dipakai. Yang lebih populer adalah tawassut atau wasathiyyah.

Saya sengaja mau menghidupkan istilah itu, sebab inilah istilah yang dipakai oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul “al-Iqtishad fi-l-I’tiqad” (Jalan Tengah Dalam Akidah). Kitab tentang akidah Asy’ariya  ini (akidah yang diikuti oleh mayoritas muslim Sunni dari dulu hingga sekarang di seluruh dunia), saya baca sejak setahun lebih yang lalu, dan masih berlangsung hingga sekarang. Ini adalah bagian dari kitab yang saya kaji dalam ngaji online mingguan selain Ihya’.

Selama membaca dan “ngaji” kitab ini, saya mengalami “perkembangan pemikiran” yang cukup signifikan. Tanpa harus menceritakan secara detil perkembangan pemikiran itu, cukup saya katakan bahwa saya merasa cocok secara umum dengan gaya dan pendekatan pemikiran al-Ghazali. Inti dari gaya pemikiran al-Ghazali adalah tergambar dalam judul kitab di atas: al-Iqtishad, jalan tengah. Meskipun kitab ini khusus bicara tentang akidah/kalam (teologi), tetapi gaya dan pendekatan al-Ghazali bisa dipakai dalam konteks yang lebih luas. Inilah tujuan dari catatan pendek saya kali ini.

Lawan-lawan debat (opponents) al-Ghazali dalam kitab ini adalah dua “kubu teologis”, yaitu Mu’tazilah/Falasifah (filsuf muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Sina) di satu pihak, dan kelompok Hasyawiyah/Mujassimah/Karramiyah di pihak lain. Kelompok pertama mewakili titik ekstrim yang disebut “ifrath”, sementara kelompok kedua mewakili titik ekstrim “tafrith”. Dua istilah ini tidak bisa diterjemahkan dengan mudah dalam bahasa Indonesia. Untuk mempermudah, saya ingin menggunakan contoh makan. Ifrath adalah makan terlalu sedikit sekali, sementara tafrith adalah makan terlalu banyak.

Apa yang disebut al-Ghazali sebagai “iqtishad” adalah titik tengah antara dua titik ekstrim ifrath dan tafrith. Akidah yang benar menurut al-Ghazali adalah akidah Asy’ariyyah, karena dalam akidah ini kita memiliki rumusan doktrinal yang berada di tengah-tengah. Dalam semua isu akidah (misalnya mengenai dzat dan sifat-sifat Tuhan), al-Ghazali berusaha menunjukkan posisi iqtishad atau tengah-tengah dari akidah Asy’ariyah.

Seperti saya katakan, pendekatan “islqtishad” ala al-Ghazali ini bisa diterapkan dalam konteks yang lebih luas. Saat ini kita hidup di tengah-tengah gempuran pertarungan ide yang telah berubah menjadi “ideologi”. Ini terjadi terutama di negeri-negeri Barat, dan pertarungan ini mulai menebarkan cipratannya ke seluruh dunia. Ada banyak ideologi yang menjadi sumber polarisasi besar di Barat saat ini: yang pertama mengenai lingkungan dalam bentuk ide besar tentang “climate change” dan kedua ide tentang “gender” yang tergambar dalam debat terakhir tentang “transgenderisme” dan “queer”.

Bagi saya, dua ide besar itu telah mengalami transformasi besar menjadi “ideologi” yang sangat “divisive” dan menimbulkan perpecahan di dunia Barat. Ideologi bukan sekedar gagasan untuk menjelaskan sesuatu, atau pendapat mengenai suatu masalah. Jika suatu gagasan masih berhenti sebatas pendapat mengenai suatu masalah, saya hendak menyebutnya sebagai “fikih”. Ideologi adalah tahap yang lebih lanjut dari gagasan atau pendapat, sebab ideologi memiliki fungsi untuk “menjelaskan dunia” (“the medium in which conscious social actors make sense of their world”; ini kutipan dari sejumlah pengertian tentang ideologi dalam bukunya Terry Eagleton, “Ideology: an introduction” [1991]). Ideologi juga punya kedenderungan kepada “semiotic closure”, yaitu membatasi pengertian yang beragam kepada satu pengertian saja.

Kita bisa mengatakan bahwa “ideologi” adalah agama dalam bentuknya yang sekular. Karena agama mengalami kemerosotan di Barat secara drastis, maka terciptalah “semiotic void”, kekosongan semiotis di sana. Keadaan kosong ini tampaknya menimbulkan kebingungan. Manusia, pada akhirnya, toh membutuhkan semacam “semiotic mooring” atau jangkar makna yang memberinya arah yang jelas dalam gebalau hidup yang sesak dengan peristiwa yang kacau balau. Karena agama sudah atau nyaris mati di Barat (terutama di Eropa Barat), muncullah kebutuhan akan “semiotic mooring” yang bisa menggantikan agama. Ideologi memenuhi fungsi itu.

Gagasan-gagasan tentang “climate change” atau “gender” tampaknya sudah berubah tidak lagi sekedar sebatas ide saja, melainkan sudah meningkat menjadi ideologi. Sebagai sebuah ideologi, dua gagasan itu mengalami “semiotic closure”. Pertengkaran dan polarisasi yang dipicu oleh ideologi memiliki ciri-ciri serupa dengan pertengkaran karena isu agama atau akidah. Contoh terbaik adalah kontroversi yang hebat soal sosok JK Rowling, penulis serial Harry Potter, gara-gara isu transgender dan definisi seks (is sex [not gender] biological or “socially” constructed?).

Mirip dengan perdebatan soal akidah yang biasanya berujung pada “pengkafiran” pihak lain yang berseberangan, begitu juga perdebatan karena ideologi ini. Bentuk pengkafiran mengalami mutasi di era modern ini dalam bentuk yang “secularized”, yaitu apa yang disebut dengan “cancel culture”. Budaya cancel artinya membungkam (cancel) orang-orang yang berbeda pendapat dengan berbagai cara: dilarang ceramah di forum tertentu, tidak mendapatkan dana riset, tidak menikmati promosi jabatan, hingga ke tingkat yang lebih serius: dipecat dari pekerjaan (ingat kasus Maya Forstater di Inggris pada 2021).

Perseteruan tentang “climate change” di Barat juga sudah meningkat ke level ideologi ini. Perdebatan mengenai isu ini bukan sekedar perdebatan biasa, melainkan sudah menjadi pertengkaran yang memiliki aura “keagamaan”. Mereka yang tidak setuju dengan wacana dominan tentang “climate change” diperlakukan dengan cara yang mirip dengan cara-cara “ortodoksi agama” memperlakukan lawan-lawannya: yaitu membikin sebutan yang “menyeramkan” seperti “kafir” dan “murtad”. Dalam isu lingkungan, mereka yang mempertanyakan ortodoksi soal “climate change” akan diberikan label menyeramkan: “climate denialist”, penentang perubahan iklim. Sebutan ini membuat orang-orang teringat pada istilah lain: “holocaust denialist”, penentang holocaust. Secara implisit, isu lingkungan dan perubahan iklim sudah dinaikkan tarafnya sehingga mirip dengan horor holocaust.

Kecenderungan ideologis dalam isu “climate change” dan gender ini sudah menampakkan pengaruhnya ke Indonesia. Makin ke mari, makin kita rasakan gelombangnya. Saya mengatakan bahwa gelombang ideologisasi ini sangat “toxic”, beracun. Saya berpandangan: ini semua harus dilawan dan ditangkal.

Menurut saya, senjata untuk melawannya adalah dengan mendayagunakan fikih. Ada ciri dasar pada fikih: yaitu “semiotic openness”, keterbukaan tafsir, berlawanan dengan ideologi yang cenderung pada “semiotic closure”. Ciri fikih adalah: dalam semua masalah, kita lazim mengahapi perbedaan pendapat yang diungkapkan dengan istilah “fihi aqwal” (dalam masalah ini terdapat banyak pendapat). Perbedaan pendapat dalam soal fikih tidak harus berujung pada “pengkafiran” atau “canceling”.  Di sisi lain, amat relevan pendekatan yang dipakai oleh al-Ghazali, yaitu “iqtishad” atau jalan tengah. Fikih yang dipadukan dengan metode berpikir iqtishad ini, bagi saya, bisa menjadi panduan bagi seorang muslim (saya tidak bicara mengenai umat lain) untuk menghadapi abad ideologi dan ideologisasi saat ini.

Saya sepakat dengan analisa dan observasi filsuf Inggris Terry Eagleton yang bukunya saya kutip di atas: bahwa keliru jika kita mengira saat ini sedang terjadi gejala “the end of ideology” atau berakhirnya ideologi; keliru juga bahwa kita saat ini sedang mengalami era yang oleh Francis Fukuyama disebut “the end of history”, berakhirnya sejarah. Saat ini, kata Eagleton, kita justru mengalami proliferasi atau pertumbuhan yang begitu subur dari ideologi dengan pelbagai bentuknya. Statemen tentang “the end of ideology” yang pernah dikemukakan oleh Daniel Bell pada 1960 adalah semacam statemen ideologis dari pihak “kanan” di Barat di tengah-tengah merosotnya pengaruh komunisme.

Jika “the ene of ideology” dimaknai sebagai berakhir dan ambruknya komunisme, bisa dibenarkan. Tetapi ideologi tidak saja diwakili oleh komunisme, melainkan ada pelbagai bentuk ideologi yang lain. Manusia, kata filsuf Jerman kelahiran Polandia Ernst Cassirer (1874-1945), adalah “symbolic animal” (homo simbolicum), binatang yang menciptakan simbol. Fungsi simbol, antara lain, adalah untuk “making sense of the world”, membuat dunia yang ditinggali manusia memiliki makna dan bisa dipahami. Ideologi sebetulnya berawal dari hasrat untuk “sense making” ini. Meskipun tindakan “sense making” itu sendiri belum tentu akan melahirkan ideologi, tetapi sebagai sebuah “cara pandang dunia”, ideologi bermula dari sana. Dengan demikian, ideologi tidak akan bernah berakhir seperti dikleim oleh Daniel Bell itu.

Sebagaimana pertarungan akidah dalam sejarah masyarakat beragama, pertarungan ideologi juga membawa dampak-dampaknya yang destruktif. Penawar bagi “racun” ideologi ini adalah berpikir dengan akal sehat, bersikap tengah-tengah. Dalam isu lingkungan dan “climate change”, misalnya, sikap yang menurut saya masuk akal dan tengah-tengah adalah “sensible/reasonable environmentalism”, peduli lingkungan secara “reasonable”. Kebalikan dari sikap ini ialah apa yang disebut dengan “alarmism”, menanggapi isu “climate change” dengan menakut-nakuti, seolah-olah kiamat akan terjadi pada esok hari.

Reaksi yang keras atas keputusan PBNU untuk menerima konsesi tambang, dalam pandangan saya, tidak semata-mata dilatari oleh kepedulian atas dampak-dampak industri pertambangan yang merusak lingkungan. Reaksi ini jelas ada kaitannya dengan kampanye global yang sebagian cenderung “alarmis” dan ideologis untuk menentang segala bentuk energi fosil. Alarmisme ini menimbulkan kesan seolah-olah batubara adalah barang najis. Sikap ini jelas sudah ideologis, bukan sekedar pendapat “fikih” biasa. Di balik pandangan ini ada semacam “metafisika” yang melatarinya, salah satunya berasal dari gagasan “deep ecology” yang pernah dilontarkan oleh Arne Næss (1912-2009), seorang filsuf dari Norwegia. Ini akan menjadi pembahasan dalam seri ketiga tulisan saya. Dalam seri kita nanti, saya akan mengemukakan kritik atas gagasan Næss ini.

Contoh paling baik dari sikap “alarmism” tersebut bisa kita lihat dalam kampanye ala Greta Thunberg, aktivis lingkungan dari Swedia. Thunberg menarik perhatian dunia melalui aksi-aksinya yang berlangsung bertahun-tahun untuk mendesak para pemimpin dunia segera mengambil langkah-langkah kongkret untuk mencegah terjadinya pemanasan global. Puncaknya adalah pidato Thunberg di U. N. Climate Action Summit pada 2019 melalui kata-katanya yang masyhur: “How dare you! You have stolen my dreams and my childhood with your empty words.”

Pidato Thundberg ini, menurut saya, gambaran yang gamblang sekali dari kampanye lingkungan yang sudah berubah jadi ideologi. Thunberg mengira mimpi anak-anak di dunia itu bisa diwakili oleh satu anak dari negeri super-kaya seperti Swedia. Seolah anak-anak dari desa Kulon Progo atau Bantul tidak memiliki mimpi sendiri yang berbeda. Dia, misalnya, tidak membayangkan bahwa ada milyaran anak-anak di kawasan dunia lain yang mimpinya tergantung pada adanya penerangan listrik yang ditenagai oleh batubara atau energi fosil lainnya.

Seri kedua ini adalah jembatan untuk seri ketiga, seri terakhir, yang akan membahas kaitan antara soal debat tambang di dalam negeri saat ini dengan isu besar “ideologisasi” lingkungan di dunia Barat yang menjadi fokus tulisan kali ini.

III

Kritik atas “Metafisika”

yang Mendasari Aktivisme Lingkungan

Ini adalah seri ketiga dan terakhir tentang tambang. Saya tidak ingin menulis terlalu panjang mengenai tema ini. Selain tidak memiliki keahlian di bidang ini, saya juga tidak mau terfiksasi oleh isu itu. Tujuan saya menulis serial ini adalah sekedar membuka “percakapan baru” tentang tema lingkungan. Sebagian tujuan saya sudah tercapai, dengan terlibatnya sejumlah teman, baik yang saya kenal atau tidak, dalam percakapan ini. Saya sungguh gembira dengan perkembangan seperti ini.

Untuk itu, sekali lagi, saya hendak menyampaikan terima kasih dan apresasi yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah menanggapi tulisan saya. Secara khusus saya harus menyebut dua orang: Airlangga Pribadi dan Budhy Munawar Rachman. Mereka berdua telah menulis tanggapan yang serius. Saya memang tidak menanggapi secara khusus tulisan dua teman saya ini. Tetapi ketiga seri tulisan yang sudah saya siarkan di laman ini saya anggap sudah menjawab sebagian dari “kritik” mereka. Sebuah jawaban sudah tentu tidak mesti “tit-for-tat” dan memuaskan. Melalui serial tiga tulisan itu, saya hanya ingin mengemukakan sudut pandang yang berbeda saja.

Bagian terakhir ini akan saya dedikasikan kepada isu yang mengharu-biru pikiran saya sejak beberapa tahun terakhir ini. Yaitu: bisakah kita mengambil jarak dan mempersoalkan secara kritis ide-ide modern yang datang dari “Barat” (saya andaikan saja istilah “Barat” ini dipahami maknanya)? Jika saya dan banyak aktivis muslim lain selama ini kerap melakukan “kritik tradisi/tradisionalisme”, bisakah kita juga melakukan hal sebaliknya: “kritik modernisme”?

Tentu saja bisa, dan kritik modernisme ini sudah banyak dilakukan oleh sejumlah kalangan. Kritik modernisme ini bisa ditempuh melalui pelbagai pendekatan. Pendekatan yang paling populer ialah sufisme/mistisisme sebagaimana dikerjakan oleh para sarjana seperti Seyyed Hussein Nasr. Pendekatan lain ialah filsafat seperti dilakukan oleh Syed Naquib Alatas.

Saya ingin menempuh jalan berbeda. Kritik yang hendak saya lakukan berangkat dari tradisi Asy’arisme yang berkembang di kalangan muslim Sunni, terutama Nahdlatul Ulama. Yang saya sebut pendekatan Asy’arisme di sini tidak terbatas pada aspek teologi atau akidah saja, melainkan meliputi aspek syariat (fikih) dan akhlak (tasawuf). Trilogi akidah-syariat-akhlak adalah ciri yang menandai praksis keagamaan kalangan muslim Sunni, termasuk warga NU. Karena saya tumbuh dalam tradisi ini, saya ingin memanfaatkan bahan-bahan pemikiran dan doktrinal yang ada di sana sebagai alat kritik atas modernisme.

Dengan mengkritik modernisme bukan berarti saya menganjurkan muslim Sunni untuk menolak seluruh produk peradaban modern ini. Sama sekali tidak. Ciri praksis keagamaan Sunni dari dulu ialah kelenturan intelektual dan kultural untuk menerima pelbagai jenis budaya dari sumber manapun, asal melalui proses “filtering” dan “akulturasi”. Sosok panutan saya dalam hal ini ialah al-Ghazali.

Keistimewan al-Ghazali ialah kemampuannya untuk memilah-milah (tafshil) secara kritis antara bagian-bagian mana dari peradaban “lain” (dalam hal ini: Yunani) yang bisa diserap, bagian mana yang harus dikritik. Ini diperlihatkan oleh al-Ghazali dalam karyanya yang masyhur: Tahafut al-Falasifah. Banyak pihak yang menyalah-pahami karya al-Ghazali ini sebagai penolakan terhadap filsafat (peradaban Yunani) in toto. Anggapan ini jelas keliru. Pemikir besar Pakistan Muhammad Iqbal memiliki pandangan yang tepat atas karya ini. Melalui Tahafut, kata Iqbal, al-Ghazali telah menyelamatkan umat Islam di era klasik dari gelombang helenisasi (peng-Yunanian) total, sehingga tetap menjaga karakternya yang khas sebagi umat dengan akidah tertentu.

Sebagaimana Anda tahu, saya menggunakan istilah “ideologi vs fikih” sebagai alat untuk mengkritik modernisme, termasuk di dalamnya gagasan-gagasan modern tentang lingkungan yang berasal dari Barat. Soal tambang, bagi saya, hanya isu kecil saja dari sejumlah tema dalam konteks proyek pemikiran yang sedang saya pikirkan: yaitu kritik modernisme. Ada tema-tema lain yang sedang saya pikirkan selain lingkungan, yaitu gender (feminisme), demokrasi (termasuk di dalamnya isu HAM), dan gagasan di sekitar dialog antaragama.

Dalam semua tema ini, kerangka yang saya pakai adalah oposisi biner antara ideologi vs fikih. Saya mengajukan fikih sebagai alternatif pendekatan untuk melihat masalah-masalah modern. Sebagaimana saya tulis dalam tulisan seri kedua, fikih memiliki ciri “semiotic openness”, membuka diri pada semua pandangan tanpa harus melakukan “penjahatan” (vilifikasi) pihak yang berbeda. Sementara ideologi cenderung pada, mengutip istilah yang juga dikutip Terry Eagleton dalam buku pengantarnya tentang ideologi, “semiotic closure” (ketertutupan semiotis atau cenderung menutup diri dan kaku).

Menginterogasi “Kosmosentrisme”

Dalam menelaah soal tambang, saya berangkat dari sejumlah pra-anggapan dan asumsi. Anda boleh tidak sepakat dengan asumsi ini, tetapi saya harus mengatakannya secara terbuka.

Asumsi itu ialah: kritik kaum lingkungan atas sumber-sumber energi fosil (termasuk batubara) tidak sekedar mengenai soal perusakan lingkungan. Dalam soal perusakan lingkungan, saya sepakat dengan semua pihak: kita harus menjaga lingkungan sebagai habitat fisik yang menjadi tempat tinggal manusia. Saya mencurigai bahwa aktivis lingkungan di pelbagai belahan dunia saat ini digerakkan oleh sesuatu yang lain, yaitu semacam “akidah” atau metafisika tertentu tentang bumi. Mereka ini memiliki pandangan bahwa seolah-olah bumi harus dipertahankan “at all cost” walau harus mengalahkan kepentingan manusia. Di sini kita mendeteksi adanya cara pandang “kosmosentrisme”, kosmos sebagai pusat, bukan manusia.

Salah satu gagasan yang banyak membentuk aktivisme lingkungan modern ialah apa yang disebut dengan “deep ecology” yang dikenalkan oleh Arne Næss (1912-2009), seorang filsuf asal Norwegia. Melalui sebuah paper yang ia tulis pada 1973, Næss mengembangkan gagasan yang ia sebut “deep ecology”. Secara ringkas, gagasan ini menempatkan segala makhluk hidup, termasuk bumi, sebagai sesuatu nilai yang inheren pada dirinya (inherent worth of all living being). Segala hal bermakna bukan dalam relasi instrumentalnya dengan manusia, melainkan karena adanya nilai intrinsik pada dirinya.

Tampaknya, Næss amat dipengaruhi oleh ide filsuf Jerman Martin Heidegger (1889-1976) yang amat terkenal tentang “being-in-the-world” (in-der-Welt-sein). Sebagaimana kita tahu, melalui karyanya yang masyhur “Sein und Zeit”, Heidegger melancarkan kritik atas metafisika Cartesian yang dianggap sebaga fondasi filsafat modern Barat: yaitu manusia sebagai subyek yang terpisah dan otonom dari alam di sekitarnya. Sebagai gantinya, Heidegger memandang manusia sebagai “Dasein” (ada-di-sana) yang secara ontologis menyatu dengan alam di sekitarnya. Manusia tidak hadir sebagai “kesadaran” yang berhadapan dengan alam sekitarnya sebagai “obyek telaah dan pengamatan” yang terpisah, melainkan menyatu dengannya. Manusia tidak menjadi manusia tanpa dunia di mana dia hidup. Dunia bukan obyek yang dipandang oleh manusia sebagai subyek, melainkan unsur organik dan konstitutif yang membentuk manusia sebagai “Dasein”. Wawasan Heideggerian inilah yang tampaknya melandasi gagasan Næss tentang “deep ecology”.

Pengaruh gagasan Næss di kalangan gerakan “lingkunganisme” (environmentalism) cukup besar. Gaya berpikir ala Næss ini kemudian berkembang pula di kalangan feminis. Seorang penulis Perancis Françoise d’Eaubonne mengenalkan untuk pertama kali istilah “ecofeminism” dalam bukunya “Le Feminisme ou la Mort” (Feminisme atau Kematian; 1974). Gagasan pokoknya sederhana: patriarki yang menindas perempuan beroperasi secara bersamaan dengan perusakan alam. Patriarki dan kerusakan alam adalah dua sisi dari koin yang sama.

Gagasan ecofeminisme ini juga dikembangkan lebih lanjut dalam konteks kajian Alkitab dan melahirkan apa yang disebut dengan “ecofeminist theology”. Pemikir terkenal yang mengenalkan gagasan ini adalah teolog Amerika Rosemary Ruether. Dalam konteks ekofeminisme ini kemudian berkembang gagasan tentang spiritualitas yang berbasis bumi. Bumi digambarkan sebagai entitas hidup (living being) dan identik dengan sosok perempuan. Sosok dewi dalam mitos Yunani, Gaia (dewi bumi), menjadi model untuk melihat status ontologis bumi. Di nusantara, tradisi memandang bumi sebagai sosok perempuan juga kita jumpai. Bumi, misalnya, digambarkan secara feminin sebagai Bumi Pertiwi dan Dewi Sri. Walhasil, ecofeminisme mengembangkan kesadaran tentang “deep-ecology” dengan fokus pada bumi. Bumi adalah makhluk hidup, bahkan semacam dewi yang disucikan.

Gagasan tentang bumi yang “suci” inilah, menurut saya, sadar atau tidak sadar, yang membentuk “alam bawah sadar” sebagian aktivis lingkungan yang melihat tambang, batubara, dan eksploitasi atasnya sebagai hal yang najis. “Deep-ecology” pada akhirnya berujung pada gagasan biner tentang bumi yang suci di satu pihak, dan batubara (atau semua barang tambang yang lain) sebagai najis di pihak lain.

Mungkin saya terlalu jauh menarik urusan tambang ini ke asal-usul yang abstrak semacam ini. Tetapi, bagi saya, ini bukan “conceptual over-stretching”, menarik gagasan terlalu jauh. Gerakan lingkungan saat ini mengalami transformasi menjadi sebuah “ideologi” dengan dasar-dasar filsafat tertentu. Salah satu dasae filosofis yang melandasinya adalah pandangan yang mensakralkan bumi ini.

Dalam konteks deep-ecology, manusia bukan lagi pusat, melainkan “maujud”(being) yang eksis bersama maujud-maujud lain dalam jaringan kosmis yang begitu kompleks dan saling terhubung. Bahkan, saya melihat suatu transformasi lebih lanjut. Manusia tidak saja dimakzulkan dari kedudukannya sebagai pusat realitas, melainkan pusat itu digeser ke “alam”. Kita, di sini, melihat gerak dari antroposentrisme (manusia sebagai pusat) ke kosmosentrisme (alam sebagai pusat). Bahkan lebih jauh lagi: alam bukan saja menjadi pusat, melainkan juga sesuatu yang suci. Sekali lagi, ini bukan “suci” dalam pengertian sufi, melainkan versi sekular dari gagasan tentang “yang suci” (betapapun oksimoronnya hal ini).

Alam, dengan kata lain, disucikan; menjadi semacam obyek pemujaan. Apakah ini semacam “neo-paganisme” atau tidak, bisa kita perdebatkan dalam konteks terpisah. Saya melihat gejala “kosmolatri” di sini — pemujaan pada alam. Asumsi bawah sadar yang melandasi ideologi lingkungan adalah kosmolatri. Saya tahu, observasi saya ini mungkin berlebihan. Tetapi saya tidak bisa menolak godaan untuk mendeteksi adanya kecenderungan kosmolatri ini.

Menurut saya, ini kontras dengan wawasan teologis dalam Islam (akidah) yang menempatkan manusia sebagai pusat kosmos. Ia adalah, sebagaimana digambarkan dalam Qur’an, “ahsan taqwim”, ciptaan Tuhan yang paling baik. Islam mengajarkan tentang anak cucu Adam yang dimuliakan Tuhan (walaqad karramna bani Adam). Seluruh bumi-langit dan segala hal yang ada di antara keduanya diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya. Penciptaan Adam sebagaimana dikisahkan dalam Qur’an digambarkan begitu rupa di mana seluruh malaikat diperintahkan oleh Tuhan sujud kepadanya.

Dengan kata lain, Islam menggambarkan manusia sebagai pusat alam-antroposentrisme. Kritik-kritik yang dikemukakan oleh kaum ecofeminis terhadap agama-agama semitik (termasuk Islam) sebagai bertanggung jawab pada kerusakan alam karena dilandasi oleh ide antroposentrisme ini, bagi saya, salah sasaran, untuk tidak mengatakan keliru sama sekali. Menempatkan manusia sebagai pusat bukan bermakna ia diberikan Tuhan “a licence to kill”, izin untuk merusak alam dan mengeksloitasinya secara serampangan. Manusia, dalam wawasan Qur’an, digambarkan sebagai “khalifah”, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi. Karena Tuhan adalah “rabb” atau perawat alam raya, makan sebagai khalifah Tuhan ia juga harus menjadi “rabb” atau perawat bumi dan alam. Ide antroposentrisme dalam Islam dengan sendirinya dan secara implisit mengandung gagasan tentang “stewardship” (pemeliharaan) dan “sepherdship” (penggembalaan) kepada alam.

 

Ringkasnya: manusia memiliki tanggung-jawab moral untuk menjaga dan merawat bumi tanpa harus “mensucikan” atau bahkan “memuja” bumi. Bumi memang harus dipandang sebagai sarana untuk kesempurnaan hidup manusia. Sebagai muslim saya tak perlu merasa gentar dan takut di hadapan “fisafat kosmosentrisme” yang, kesan saya, seperti berteriak menguarkan kata-kata “Aku menuduh” kepada agama-agama semitik (sekali lagi, termasuk Islam) sebagai biang kerusakan alam. Saya menola

19 Mei 2025
Swadaya yang Masih Kukuh dan Utuh: Pesantren Bahrul Ulum

Baihaki Ghazali, S.PdKepala Madrasah Aliyah Bahrul UlumPondok Pesantren Bahrul Ulum didirikan pada tahun 1956 oleh Almaghfurllah KH. Arifurrahman. Sejak awal, pesantren ini telah menjadikan pri

Load More
17 September 2024
Kenali Dirimu, Kau Akan Kenal Tuhanmu

Hodri Ariev*Sabda Baginda Nabi Muhammad saw. ini sangat masyhur, hingga terkadang seperti biasa saja dan tidak punya pesan mendalam. Pada sisi yang lain, pesan ini bisa disalahpahami hingga potensial

Load More
13 Juli 2024
Memilih Tempat Belajar

Ubaidillah, M.PdStaf Pengajar Madaris Bahrul Ulum Allah SWT menciptakan manusia, sebagai khalifah di bumi. Oleh karena itu Allah memberi bekal kepadanya, segala bentuk panca indra dan kemampua

Load More
12 Juli 2024
MEMBUMIKAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN SOEDJATMOKO DALAM PENDIDIKAN MASA DEPAN: KONSEP PENDIDIKAN RELIGIO-H

Ahmad Zaini* Pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang ditempuh oleh setiap orang, baik yang bersifat formal maupun non formal. Dalam sudut pandang lain, pendidikan dapat diartikan sebagai su

Load More
12 Juli 2024
STATUS NASAB DAN KEWARISAN ANAK HASIL SEWA RAHIM MENURUT HUKUM ISLAM

Honainah*AbstrakPenelitian ini membahas tentang sewa Rahim, dari hukum sewa Rahim, status anak dari hasil sewa Rahim hinggga kewarisan kepada anak dari hasil sewa Rahim. Penelitian ini termasuk tipe

Load More