Pustaka

Artikel

Memilih Tempat Belajar, Mempertaruhkan Masa Depan

hodri ariev[1]

Islam adalah satu-satunya agama yang mewajibkan umatnya untuk belajar, sejak lahir hingga meninggal, walau ke Cina sekalipun. Dan sangat jelas, secara historis, bangsa-bangsa yang maju selalu diawali kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Karena wajib, maka kegiatan belajar dan mengajar merupakan ibadah ghairu mahdlah. Begitu pentingnya belajar hingga al-Qur’an menempatkan orang berilmu, bersama orang beriman, menempati kedudukan yang lebih tinggi, hingga menanyakan samakah orang yang tahu dengan yang tidak.

Namun belajar tidaklah untuk belajar. Belajar adalah untuk sesuatu yang penting dan mulia, bahkan lebih penting dari apa pun yang diketahui. Karena dalam analisis terakhir, orang yang mencari ilmu sebenarnya mencari al-‘Alim, Yang Mahatahu. Di sinilah kemudian para ulama kerap menegaskan bahwa siapa pun yang berilmu namun tidak tawadlu’ maka sebenarnya sama saja dengan yang tidak berilmu. Maka sangatlah logis jika dinyatakan bahwa “pendidikan adalah untuk mengenal Allah swt.,” karena memang demikianlah pada hakikatnya.

Ungkapan bahwa “pendidikan untuk mengenal Allah swt.” bukanlah pernyataan elitis, tetapi memang harus demikian adanya. Jika pendidikan tidak diarahkan untuk mengenal Allah swt., maka ia akan menjadi kegiatan untuk mengenal dunia, makhluk, selain Allah swt., dan di sinilah terletak potensi bahaya bagi siapa pun yang belajar. Karena belajar idealnya menjadi cara untuk mendapat hidayah, hingga dinyatakan bahwa siapa pun yang ilmunya bertambah tetapi tidak bertambah hidayahnya (kepada Allah swt.), maka dia tidak mendapat tambahan apa pun kecuali (tambahan) semakin jauh dari Allah swt.

Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang penting diikhtiarkan agar kegiatan belajar bisa mengantarkan santri atau murid untuk mengenal Allah swt. Pertama, akhlaq, atau terbentuknya tabiat yang baik, terpuji, mulia. Akhlak bukanlah sopan santun, melainkan watak atau tabiat yang secara intrinsik selalu menjadi alasan seseorang melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. JIka tabiatnya baik, maka akan terdorong melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Jika tabiatnya buruk, maka akan terdorong melakukan keburukan dan mengabaikan kebaikan. Tabiat ini akan terlihat jelas pada siapa pun yang berada dalam situasi terdesak, harus memutuskan melakukan atau tidak melakukan dalam situasi yang tidak memberi kesempatan untuk memilih. Jika akhlaknya baik, maka secara reflek akan memilih melakukan kebaikan dan menghindari atau meninggalkan keburukan. Begitu juga sebaliknya.

Kedua, ma‘rifah atau kenal, yang memiliki status lebih tinggi dari tahu, karena kenal mengandaikan terlibatnya rasa/perasaan dalam mengetahui. Sedangkan tahu belum tentu merasakan sesuatu yang diketahui. Ma‘rifah bisa diperoleh melalui ilmu, pengetahuan, atau berpikir. Ma‘rifah mengandaikan ilmu lebih sebagai pengantar untuk mengenal realitas “di balik” yang diketahui, atau tentan nomena di balik fenomena. Sebagai misal, ketika terjadi gempa bumi, para ahli geologi dengan fasih menjelaskan kuatnya getaran dan episentrumnya. Penjelasan ini adalah ilmu. Ma‘rifah adalah diperolehnya kesadaran bahwa gempa yang terjadi adalah disebabkan oleh “kekuatan” di balik patahan lempeng bumi atau gunung meletus, yang mengantarkan pada kesadaran atas eksistensi Yang Maha Kuasa. Pembagian pengetahuan menjadi (1) ilm al-yaqin, (2) ‘ain al-yaqin, dan (3) haqq al-yaqin dengan jelas menjadi rujukan mengenai tingkatan ilmu. Ada yang hanya tahu, ada yang membuktikan, kemudian ada yang merasakan.

Ketiga, ‘ubudah. Kata ini kadang disalahpahami sebagai kesalahan-tulis, tetapi sebenarnya tidak. ‘Ubudah merupakan kualitas tertinggi penghambaan manusia kepada Allah swt. Ibadah lazim dipahami berkaitan dengan kepatuhan menunaikan kewajiban mengabdi kepada Allah dengan melaksanakan shalat, zakat, puasa, dan haji. Sementara kebaikan-kebaikan lain yang sesuai dengan ajaran agama lazim disebut ubudiyah. ‘Ubudah merujuk pada diam dan geraknya hamba, berpikir, dan merasakan (apa pun) senantiasa dalam kesadaran untuk mendapat ridla Allah swt. Secara ringkas bisa dikemukakan bahwa hamba yang telah sampai pada kualifikasi ‘ubudah berada dalam kualitas pasrah seutuhnya kepada Allah swt. dalam gerak maupun diam, berpikir dan merasakan. Tetapi harus ditegaskan, kepasrahan ini bukan dalam arti pasif dan tidak melakukan apa pun, karena ini adalah kemalasan.

Tiga ikhitar atau karakter ini harus terus diikhitarkan agar kegiatan belajar benar-benar bisa mengantarkan santri atau murid bisa mengenal Allah swt. Kembali harus segara ditegaskan, tujuan sempurna ini tidak berarti santri atau murid diajak mengabaikan atau tidak peduli pada dunia, melainkan menempatkan aktivitas duniawi seperti bekerja, berkeluarga, dalam matra untuk mengenal Allah swt. Kita harus tetap aktif mengelola aktivitas-aktivitas duniawi sekaligus menerima apa pun yang diperoleh dari semua aktivitas yang dilakukan, karena hasil bukan kita yang menentukan. Sekilas, ini membingungkan, karena kita terperangkap dalam pola pikir (keyakinan) relasi sebab-akibat. Sementara, dalam sangat banyak kasus, sebab tidak selalu menjadi alasan terjadinya akibat. Mu’jizat para nabi merupakan contoh idela untuk memahami hal ini, yang dalam teologi Asy‘ariah populer dengan istilah Kasb al-Asy‘ari, yang dalam deskripsi ulama lazim dikemukakan bahwa kita, manusia, berada dalam alam asbab, bukan dalam alam tajrid.

Santri atau murid tetap amat sangat penting mempelajari ilmu-imu duniawi, ilmu-ilmu sebagai bekal menjalani hidup, karena di dunia inilah kita hidup, mengumpulkan bekal duniawi untuk ukhrawi. Dan untuk mengelola dunia inilah kita sangat membutuhkan pengetahuan yang memadai berkaitan dengan semua prilaku duniawi. Maka belajar, sebenarnya, adalah ikhtiar untuk menjalani hidup agar selamat dan bahagia di dunia ini dan akhirat kelak.

Sialnya, tidak semua tempat belajar membimbing peserta didiknya dalam matra demikian, yakni menjadikan dunia sebagai sarana menuju akhirat. Santri atau murid atau siswa kerap lebih dibimbing untuk mengerti dunia, untuk menjalani hidup di dunia dengan baik. Karena itu, setiap orang tua harus tahu dan sadar, di atau ke mana anak-anaknya akan dikirimkan atau didaftarkan untuk belajar, karena memilih tempat belajar adalah mempertaruhkan masa depan (di dunia ini dan di akhirat kelak).


[1] Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Karangharjo; Ketua RMI-PBNU, Staf Pengajar Universitas Annuqayah Sumenep, UIN Sunan Ampel Surabaya. 

19 Mei 2025
Swadaya yang Masih Kukuh dan Utuh: Pesantren Bahrul Ulum

Baihaki Ghazali, S.PdKepala Madrasah Aliyah Bahrul UlumPondok Pesantren Bahrul Ulum didirikan pada tahun 1956 oleh Almaghfurllah KH. Arifurrahman. Sejak awal, pesantren ini telah menjadikan pri

Load More
17 September 2024
Kenali Dirimu, Kau Akan Kenal Tuhanmu

Hodri Ariev*Sabda Baginda Nabi Muhammad saw. ini sangat masyhur, hingga terkadang seperti biasa saja dan tidak punya pesan mendalam. Pada sisi yang lain, pesan ini bisa disalahpahami hingga potensial

Load More
15 Juli 2024
Soal Tambang dan Fikih Lingkungan

Sejak awal Juni 2024, sangat banyak kontroversi berkaitan dengan eksplorasi tambang. Pasalnya, PBNU menerima tawaran pemerintah menambang batubara di kalimantan. Dari begitu banyak pandangan yang m

Load More
13 Juli 2024
Memilih Tempat Belajar

Ubaidillah, M.PdStaf Pengajar Madaris Bahrul Ulum Allah SWT menciptakan manusia, sebagai khalifah di bumi. Oleh karena itu Allah memberi bekal kepadanya, segala bentuk panca indra dan kemampua

Load More
12 Juli 2024
MEMBUMIKAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN SOEDJATMOKO DALAM PENDIDIKAN MASA DEPAN: KONSEP PENDIDIKAN RELIGIO-H

Ahmad Zaini* Pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang ditempuh oleh setiap orang, baik yang bersifat formal maupun non formal. Dalam sudut pandang lain, pendidikan dapat diartikan sebagai su

Load More